BUGIS; Blusukan Biologis
Blusukan ideologis adalah satu hal. Tapi blusukan biologis adalah hal yang lain. Saya kurang terlatih sebagai seorang yang piawai memerankan keduanya. Meskipun silaturahmi (blusukan) sebagai semacam ibadah, semacam panggilan dari jagad batin.
Sebuah hal yang beririsan. Pokok ideologis (mazhab) dan biologis (darah). Nyaris seringkali hangus oleh konflik yang parsial dan hampir merontokkan sendi-sendi persatuan. Kekeluargaan.
Tapi sejarah selalu mencatat yang kadang keliru. Kedua pokok itu mampu mempererat sekat dan memperkaya tentang arti hidup bersama dalam keragaman.
Saya memaknai perjalanan hidup seringkali "ambyar". Memberikan kejutan dan harga yang tak terduga.
Saya bertemu Thomas Mopili sebagai kolega, tapi berhadapan dengannya saya selalu merasa ia layak menjadi mentor bagi generasi muda Gorontalo Utara.
Saya tak pernah bertemu fisik dengan Thomas Mopili (TM), Bungkus (Bung Kumis) atau pun Om Utun. Sebutan nama yang disematkan padanya.
Perjumpaan terjadi sore itu di Hotel Claro. Ia berkelakar tapi juga memberi banyak catatan tajam diawal perjumpaan.
Tubuhnya masih segar. Potongan rambut yang khas, mengikuti zaman generasi Z. Wajahnya tampak lebih muda di usia lelaki lima puluh tujuh tahun. Ia mengenakan jaket kuning. Sesekali menatap layar ponsel.
Sepiring buah-buahan tergeletak di atas meja, yang telah mendarat sebelum saya tiba. Melewati puluhan anak tangga, saya menemuinya. Ia duduk ditemani Abang Hamzah Sidik.
Saya masih berdiri dan mengumpulkan tenaga. Memastikan kelak semua berjalan sesuai rencana. Duduk bercerita dengan jurus kata "iye...iye".
Saya berjabat dan mencium tangannya yang tidak terlihat keriput. Ia mempersilahkan saya duduk.
Ia menyebut nama "Zulkarnain Musada". Habis. Saya akan dikoyak-koyak oleh politisi senior ini.
Saya menggeser kursi. Mengambil jarak duduk semeter darinya. Cara ini sudah saya ancang-ancang sebelum datang.
Duduk melipat tangan di dada. Mengatur tutur kata yang tepat untuk menyeimbangi pertanyaan yang kelak akan dilontarkan.
Cerita dimulai. Ia bertanya soal kuliah, saya jawab dengan ala kadarnya. Di mana saya tinggal hingga kabar sanak saudara yang masih ia kenali.
Dalam perbincangan yang berlanjut saya mendapat kesan ia seorang yang perfeksionis, dingin dengan pendiriannya, dan tak sungkan menyerang hal-hal yang menurutnya tak benar.
Ia pun lanjut bercerita soal dunia bisnis perikanan yang membuatnya tertarik. Udang Vanamei, keramba jaring apung dan sistem budidaya bioflok. Sesuatu yang ia pelajari di youtube. Autodidak.
"Pas, ngana uti perikanan". Ada saya pe lokasi sepertinya bagus mo bekeng akang tambak udang.
Ia mulai merinci lokasi tambaknya. Ukuran dan letak topografinya. Juga sejarahnya. Ia menyentil soal pakan, kincir air.
Ia sepertinya serius. Ingin memulai bisnis yang membuat banyak saudagar Bugis-Makassar populer.
Saya diberi kesan yang nyaman. Perbincangan yang jauh dari politik. Ringan. Ia, antitesa dari tokoh-tokoh Gorut yang saya pernah temui.
"Pokoknya nanti ngana uti share kamari apa-apa yang dibutuhkan". Mo pake terpal hitam atau pake tanah saja. Ujarnya.
"Oh, kalau terpal hitam itu Om Utun, depe nama membran". Saya pernah bakarja, ba bekeng kolam terpal bundar dan kotak.
"Membran mahal dan butuh orang yang ahli ba bekeng itu".
Saya menduga, inilah sisi bisnis yang ada pada dirinya. Bahkan dari segi politik, ia sepertinya sistematis.
Tiba-tiba saya teringat sepotong kata dari Aristides Katoppo, sahabat karib Soe Hok Gie. Saya memplesetkannya. "Selain nurani, politisi dan wiraswasta harus punya nyali".
Suasana mulai cair. Ia menyambut saya dengan gagasan pengetahuan. Sesuatu yang saya hargai belakangan ini.
Ia kembali bersuara. Menanyakan alamat yang ada di ponselnya.
"Oh Veteran Utara, cuman dekat dari sini (hotel Claro) Om Utun".
Suasana hotel mulai ramai. Para politisi Golkar seantero Sulawesi mulai berdatangan. Pertanda, diri segera izin menarik kata pamit.
"Oh iya uti. Nanti torang bacirita ulang soal itu aaaa (perikanan)".
Saya perlahan meninggalkannya, menuruni anak tangga. Merapikan pikiran yang menari-nari. Menyusun perasaan setelah berjumpa.
Memasuki kabin mobil. Melempar pandang di sudut-sudut jalan. Suara klakson. Dering knalpot kenderaan dari beragam merk perusahaan. Jalan Peterani padat di jam "pulang kantor".
Saya membuka ponsel. Berselancar, menghiraukan macet. Satu pesan whatsapp tiba. Rupanya, Bung Indra Nodu memotret perjumpaan tadi.
Segera saya menyimpannya di folder foto. Kelak akan menulis tentang blusukan biologis itu. Tokoh yang belum masuk dalam daftar menu literasi.
Menelisik soal Thomas Mopili. Saya harus menyelam lebih dalam. Mencari dan menyusun kumpulan berita online tentangnya. Entah narasi, argumentatif politik hingga geliat kerja-kerja kerakyatan.
Saya menemukan koherensi antara kerapian bentuk dan kedalaman isi, loncatan imajinasi serta kenikmatan makna perihal berita terkait dirinya.
Ia tipe yang tak omong kosong. Memiliki kecermatan dan bekal logika yang menjulang juga perangkat logistik yang matang.
Ia melakoni peran politisi dengan intensif, yang dilakukannya lebih dari setengah perjalanan usianya. Dan punya keyakinan tersendiri tentang politik yang baik dan yang buruk.
Ia bergerak dengan keuletan yang tebal. Ketekunan yang menukik. Dan saya kira dengan segala raut kelemahan dan kelebihan pada dirinya, ia telah membuat sebuah arus tersendiri dalam wajah politik Gorontalo Utara.
Harus diakui. Thomas Mopili adalah hasil produksi original polientrepreneur (politisi dan wiraswasta). Atau merefleksikan apa yang disebut "value struggle" (nilai perjuangan).
Suatu hal yang menjadi doktrin bagi proses kehidupan setiap politisi yang menggunakan keduanya sebagai kompas rute pengabdian.
Mungkin baginya. Geliat politik dan wiraswasta adalah semacam tembikar yang dikerjakan dengan gejolak suara batin plus kesadaran perjuangan yang terukur.
Perjuangan yang presisi "terukur" tersebut menjadi bukti lain bahwa kemajuan hidupnya dimulai dari setitik kesadaran yang paling sederhana.
Mungkin bisa saja. Thomas Mopili menjadi "lord" bagi rakyat yang hatinya selalu dilukai, yang cinta untuk kesejahteraan kandas di tengah jalan, kerinduan pemimpin yang mengayomi buntu, dan harapan janji berujung palsu.
Thomas Mopili adalah pelanjut kata "kerja nyata" yang oleh sebagian rakyat dianggap sebagai kata kunci mewakili segenap nestapa.
Ia berjalan dari tepi dan tetap menyapa siapa saja yang berada dipinggir jalur pendakian perjuangannya.
Ia selalu meyakinkan konstituennya dan rakyat yang tak memilihnya bahwa segala kepedihan dalam menuju klimaks kehidupan, layak untuk "disyukuri". Sebuah perayaan kesenduhan yang kemudian nantinya menjadi gelombang energi baru masa depan.
Thomas Mopili tak akan berubah. Sebagai "lord" bagi rakyat yang masih berharap perbaikan di masa mendatang.
Ia akan berakar di hati rakyat jelatah. Ia tetap duduk merendah menyapa semuanya dan membantu siapa saja.
Thomas Mopili adalah generasi tiga zaman. Dalam setiap perkataan ada muatan besar pengalaman.
Bercerita dengannya. Pikiran saya menerawang tentang arti militansi dan keteguhan hati.
Separuh usianya, ia baktikan bagi perjuangan rakyat yang terpinggirkan. Dan ia tetap mencintai apa yang telah ia lakukan, dan belum berakhir. Ya belum berakhir.
Thomas Mopili terlihat akan terus melaju. Sebagai jagoan "rakyat" yang suaranya terlempar dari arena harapan di bilik suara.
Sebuah catatan bercerita bagaimana totalitasnya dalam bekerja. Mengantarkan partainya berjaya di setiap hiruk-pikuk demokrasi.
Golkar adalah rumah baginya.
Saya meminjam nasehat Ron Kaufman. Penulis buku terlaris New York Times dan USA Today.
Seorang pendakwah bisnis yang khatam soal kualitas layanan mengatakan "service is taking action to create value for someone else". Jika anda melayani pelanggan dengan kejutan yang manis, maka mereka akan kembali mengejutkan anda pada suatu hari.
Dakwah Kaufman perihal bisnis layanan tentu linear dengan pelayanan politisi terhadap rakyat.
Bagi saya, Kaufman tak ingin para pebisnis (termasuk politisi) bergerak tanggung alias "kaleng-kaleng" dalam soal pelayanan. Dia menganjurkan pelayanan harus diberikan melampaui harapan pelanggan.
Pelayanan yang "basic" tak akan dikenang, namun sesuatu yang melebihi harapan, sesuatu yang "desired, surprising, and unbelievable".
Suatu cara pelayanan yang "diinginkan, mengejutkan, dan tidak dapat dipercaya".
Saya tentu saja setuju dengan Kaufman. Dan tentunya rakyat Gorontalo Utara juga demikian.
Thomas Mopili, sebulan lagi berusia 58 tahun. Saya kira hidup telah memberikan banyak kesempatan kepadanya untuk mewujudkan apa yang ia inginkan.
Kedepan. Saya bergumam. Thomas Mopili akan menjadi faktor penting. Aktor "play maker" di pesta yang digelar serentak.
Siapa saja yang mengamati politik Gorontalo Utara agaknya paham bagaimana Thomas Mopili bisa mengubah banyak langkah politik dengan manuver yang sulit diduga. Sulit diterka.
Saya membayangkan Thomas Mopili "tak akan pensiun". Tak pernah tua dan kerja-kerja politiknya akan terus mengalir dan mengisi ruang demokrasi Gorontalo Utara yang menyejukkan dengan kesegaran kesehatan yang terus bugar.
Saya membayangkan ia akan lebih hebat dari Rusli Habibie, yang memenangkan hati rakyat Gorontalo Utara di usia 45 tahun.
Thomas Mopili akan terus memenangkan gagasannya setiap inci di catatan pikiran rakyat yang masih melipat harapan tentang kehidupan dan penghidupan yang makmur sentosa.
Memilih duduk di samping Thomas Mopili, saya seperti bertemu "dokter spesialis" yang mempunyai cara mengobati luka rakyat Gorontalo Utara yang masih basah dan menganga.
Thomas Mopili.
Sepertinya Gorut sekali lagi ingin memilih. Gorut ingin pulih.
Komentar
Posting Komentar