Tuan, palu sidang ditangan Deisy !

Oleh : Zulkarnain Musada. Foto : (Sumber, facebook Deasy Sandra Datau).


Tuan, kali ini Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gorontalo Utara (DPRD Gorut) mendapat pimpinan yang berbeda secara diametral dengan pimpinan-pimpinan DPRD sebelumnya, yaitu Deisy Sandra Maryana Datau. 

Sosok yang tidak lahir dari rahim kelompok elite atau latar orang tua ningrat, tapi manusia biasa dengan kehidupan sederhana sebagai seorang yang membasuh keringat hidup dari bawah.

Deisy termasuk generasi pasca reformasi. Tidak pernah memangku jabatan strategis dalam birokrasi ataupun politis dan apalagi zaman Gorut sebagai daerah otonom baru. 

Karier awalnya sebagai tenaga kesehatan dan kemudian diusung PDIP untuk berlaga pada pileg 2014 dan 2019 silam. Masuk pada deretan loyalitas Alm. Djafar Ismail yang sudah berpengalaman dalam hiruk-pikuk politik Gorut.

Nyaris sepuluh tahun yang lalu tidak ada yang mengenal nama Deisy. Tentu melalui penjaringan dan pencalonan legislatif dengan memilih PDIP sebagai armada tempurnya. Kehidupan pribadinya menjadi antitesis dari sebelumnya.

Deisy dengan cepat melejit menjadi tokoh perempuan Gorut yang dipercakapkan publik dan akhirnya mengisi kursi pimpinan dewan setelah mengganti Alm. Djafar Ismail. Walaupun proses administrasi internal partai telah rampung, khalayak sedang menanti momen penyerahan palu sidang.

Alm. Djafar Ismail, Ketua DPRD Gorut 2014-2019 (Ketua DPC PDI Perjuangan Gorut). Foto, MataKita. 


Deisy mengalahkan mimpi para politisi Gorut yang menampung hasrat untuk duduk di kursi pimpinan. Politisi tulen yang telah lama malang melintang di dunia perpolitikan dan telah lama pula menguras taktik dan memoles dirinya.

Tentu ketua DPRD melambangkan simbol kekuasaan politik. Di sisa masa bakti tiga tahun kedepan kita akan menyimak bagaimana rupa DPRD ketika dipimpin seorang perempuan yang tumbuh dari keringat 'dagang'. 

Akankah lebih agresif keberpihakan kepada publik yang diwakilinya atau justru kebalikannya, memunggungi aspirasi khalayak, menentang apa yang menjadi kehendak publik?

Sedikit banyak di tangan Deisy wajah dan halaman muka DPRD Gorut terletak.

DPRD Gorut yang selama ini dalam banyak perbincangan sering kali dianggap kelompok penyeimbang eksekutif dengan prestasi kurang 'bergetar'. Perbaikan di tubuh DPRD memang tidak gampang. Tapi, selama denyut juang dan harapan masih terpampang nyata, momok itu kian bisa untuk diubah.

Drs. H. Roni Imran, Wakil Ketua I DPRD Gorut (Ketua NasDem Gorut). Foto, Hulondalo.id


Deisy datang tidak menjual 'lidah', ia bukan tipe politisi yang 'panas' diatas mimbar. Namun, arus pikir 'Soekarno-is' jangan remehkan pada alam pikirannya. Ia telah khatam perihal 'Sarinah' dan dari sanalah ia piawai meracik 'Marhein-isme' bersanding dengan 'feminisme'.

Bagi saya, Deisy bukan sekadar ketua dewan yang berjenis kelamin perempuan, tapi perempuan di sana melambangkan feminitas yang semestinya menjadi oksigen yang mewarnai jagat politik harian kita yang dalam sejarahnya didominasi laki-laki lengkap dengan ideologi maskulinitasnya yang hegemonik dan kerap 'ugal-ugalan'.

Feminitas seperti dalam kitab The Tao of Islam-nya Sachiko Murata menyimbolkan sayap dunia dengan sensitivitas rasanya yang kuat, mencerminkan sentuhan keibuan untuk mengelola lingkungan. Hal mana nama 'negara' mendapatkan preferensi kulturalnya, sehingga dinamai 'ibu pertiwi', 'ibu kota'. Perempuan terikat secara budaya dengan kesadaran 'empu'.

Hadirnya Deisy menawarkan 'jiwa'. Kepemimpinannya tidak diletakkan pada pencitraan semata. Terbukti, jika kita mendayung linimasa sosial medianya, kita disuguhi foto-foto aktivitas seorang ibu rumah tangga. Jika pun ada aktivitas atau berita politik, itu hanyalah klik 'tandai' dari loyalitasnya atau kader partai sesamanya.

Ia pun bukan sekadar menjual kecantikan dan pesona luarannya, tapi lebih pada 'kepolosan' dan kesediaannya menyatu dengan helai napas konstituen yang dilambangkan dengan turut menyasar aspirasi wong cilik yang telah dilakukannya ketika menjadi legislatif (2014-sekarang). Dengan meminjam istilah Merleuau-Ponty dalam Phenomenology of Perception, mendengar aspirasi rakyat sebagai persentuhan diri dengan 'dunia nyata' secara intim dan terlibat.

Pengalihan palu sidang dari Alm. Djafar Ismail kepada Deisy sebagai tanda babak baru ujian baginya. Jika sukses sebagai pimpinan dewan dan kepemimpinannya menjadi antitesa dari kekhawatiran benak khalayak, tidak menutup kemungkinan pada Pilkada 2024 ia akan dieluk-elukan publik. Menjadi Bupati atau wakil Bupati.

Tetapi kalau gagal, jabatan ketua dewan adalah karier politiknya terakhir.

Akan diingat publik bahwa tak ada bedanya DPRD Gorut dipimpin dari kelompok elite atau murba. Feminitas dan maskulinitas pun hanya soal biologis dan tak memiliki pengaruh penting bagi tumbuhnya keadaan biopolitik.

Hamzah Sidik Djibran, SH.,MH, Wakil Ketua II DPRD Gorut (Ketua Golkar Gorut). Foto, gopos.id


Ujian musim politik kedepan akan sedikit naik kelas. Hitungan kalender demokrasi ikut mengambil peran. Tentu menimpa persoalan tersebut hanya ke pundak Deisy tidaklah fair.

Namun, Deisy sebagai dirigen dari sebuah panggung orkestra wakil rakyat dengan langgam berbeda dan kepentingan yang beragam menjadi signifikan. Di daerah pesisir yang paternalistik kerap kali posisi pemimpin menjadi segalanya.


Didampingi duo legend
Tentang Haji Roni Imran dan Hamzah Sidik Djibran tak ada yang tidak kenal. Keduanya telah mengisi daftar perjalanan politik Gorut. Bertiket NasDem dan Golkar sebagai partai koalisi Nasional akan memberi corak sendiri bagi sepak kerja Deisy nantinya.

Kita hanya bisa mendoakan semoga 'duo legend' itu bisa terus mengencangkan citra DPRD sebagai lembaga yang elegan dalam mengambil langkah politik kerakyatan. 

Tidak ada salahnya dengan perbedaan spektrum corak parpol dan kompas kepentingan 2024, minimal sekat itu menjadi pintu masuk untuk saling 'akad' menuntaskan agenda-agenda DPRD sampai dipenghujung masa pengabdian.

Kita tak perlu nyinyir kepada corak kepentingan berbeda dari ketinganya. Itulah injeksi dari berkah demokrasi. Siapa pun layak memberi pesan yang beda, asal kesan yang utama hanyalah keberpihakan pada rakyat sebagai 'juri' di bilik suara.

Wakil rakyat itu tidak mustahil adalah 'epifani' dari wajah mereka yang diwakilinya. Tentu politik bukan sekadar ihwal memilih, tapi di belakangnya terbentang urusan kompleks yang melintas. Mulai melek literasi sampai komitmen ideologi yang hari ini keduanya kian tidak populer.

Trisula DPRD Gorut. Deisy, Roni, dan Hamzah harus melepaskan sedikit saja ikatan dalam ayat-ayat politik purba yang telah menjadi kesepakatan abadi bersama sejak ajali; kepentingan.

Dengan terlepas dari ikatan itu, mereka akan kembali memberi jalan terang bagi mata dan hati publik, bahwa legislatif masih layak untuk diberi mandat.

Komentar

Postingan Populer