Gie, aku tetap rindu !
Soe Hok Gie : Lahir, 17 Desember 1942 - Wafat, 16 Desember 1969.
Gie, kau pasti tak mengenalku, tentu saja. Kita berbeda generasi. Generasiku adalah generasi digital dan berhadapan dengan penindasan yang mungkin lebih halus daripada zamanmu.
Tapi aku tak terlalu pintar untuk dapat menggambarkannya, suatu hari mungkin Gie.
Gie, aku tak bisa membayangkan, bagaimana jika kau hidup sampai hari ini. Bagaimana jika kau tak pernah jadi pergi ke Semeru dan tak pernah terkena racunnya? Mungkinkah kau terjebak dalam era industri yang mendekam dalam siklus sekolah, bekerja, mempunyai anak lalu menjadi tua tanpa menjadi apa-apa atau bahkan kau tetap saja idealis dengan kegelisahan-kegelisahanmu.
Gie, kau sepertinya benar, orang yang paling beruntung adalah orang-orang yang mati muda.
Gie, kau pergi pada hari yang masih sangat siang, pada saat orang-orang yang membaca tulisanmu ikut gelisah karenanya.
Sebelum kau mati harusnya kau tahu bahwa kau tak sia-sia melakukannya. Kau tak akan pesimis seperti kata buku harianmu padaku, pada pembaca-pembacamu yang lain.
Gie, kekosongan yang kau rasakan pada tiap malam di meja belajarmu yang berlampu satu itu, apakah masih ada seperti itu hari ini?
Aku kira kau bisa melihatnya dari surga. Melalui harapan-harapan penggelisah-penggelisah lainnya. Namun maaf Gie, aku tak bisa menahan diri untuk mengatakan bahwa pseudo-intelectual yang pernah kau caci maki itu bertambah banyak. Belum lagi mereka membawa-bawa namamu.
Gie, seberapa berani kau melawan Soekarno dahulu? Aku tak paham mengapa begitu banyak generasi tua yang semakin lama, semakin tak jelas hari ini.
Aku pernah membaca tentang kau yang menempelkan pamflet-pamflet protes ditujukan untuk birokrat kampus. Kau melakukan langkah nyata ketika jadi ketua senat.
Gie, hari ini ketua senat-ketua senat hanya menggunakan kutipan kata-katamu sebagai kata motivasi. Palsu, semua begitu banyak kepalsuan yang menumpuk di jalanan.
Seperti tumpukan ikan yang busuk, kepalsuan-kepalsuan heroik itu berjejer di jalanan berteriak untuk orang miskin, padahal itu tak begitu peduli sebenar-benarnya pada kemiskinan.
Ada yang di bayar, ada yang untuk kepentingan personal, kelompok dan sebagainya. Bahkan mungkin ada yang sepertimu, Gie. Tapi semuanya terlihat naif.
Gie, orang-orang tak selalu bisa melihat masalah-masalah, dan kau hanya melihat kesedihanmu. Di fotomu kau begitu ceria dalam perjalanan ke lembah Mandalawangi. Kau begitu senang keluar dari kepalsuan kota. Ya, Jakarta hari ini menjadi semakin palsu Gie.
Gie, kesunyian selalu menjadi teman terbaik. Ya, kesunyian selalu mengerti bahwa tak ada otoritas yang mampu mengganggu kesendirian seseorang, kecuali cinta, mungkin.
Seperti yang kau katakan bahwa kau dan beberapa perempuan berbeda dalam banyak hal, kecuali cinta. Aku tak pernah benar-benar tahu bagaimana kisah cintamu Gie. Tak benar-benar tahu.
Gie, aku hanya tahu bahwa kau dikirimkan surat oleh seorang perempuan Batak. Surat yang berisikan rindu dan kepedihan yang dibubuhi oleh tajamnya benturan antara harapan dan kenyataan.
Gie, aku tak paham seberapa charming-nya dirimu. Sepertinya aku memang perlu berguru padamu dalam hal ini. Entahlah, aku tak sepintar kau dalam berkata-kata pada perempuan.
Akh, kenapa aku malah menceritakan soal pribadiku padamu. Tapi tak apa, mungkin saja kau bisa menurunkan petuahmu lewat apa saja.
Gie, kami semua merindukanmu. Merindukan keberadaan tulisan-tulisanmu, merindukan kau yang lain. Ya, kau yang lain.
Apakah ada yang sepertimu hari ini? Jika ada, seharusnya ia adalah reinkarnasimu. Hidup semakin lama memang semakin keras dan sepi.
Gie, manusia memang kelak akan sendiri. Begitu kata Iwan Fals. Maka kesendirian adalah tempat asal manusia berpulang.
Gie, ucapan mendahului kepingan mozaik semesta, mengakar dari yang tiada menjadi nada, dari kata hingga harapan. Tersusun atas hati dan perasaan.
Gie, pemberian kalimat ini masih jauh dari kecamuk humanisme yang kau inginkan.
Gie, aku tetap rindu.
Selamat lahir dan selalu abadi, Bung.
Komentar
Posting Komentar