PROLOG PILGUB GORONTALO
Masa jabatan Rusli Habibie dan Idris Rahim sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Gorontalo untuk periode kedua tinggal enam bulan lagi. 22 Mei 2022, pasangan NKRI akan meletakkan masa pengabdiannya bagi rakyat Gorontalo.
Penting bagi kita untuk menelisik hasil survei Celebes Research Center (CRC) bekerjasama dengan Badan Perencanaan, Penelitian dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) yang dirilis Oktober silam, di Hotel Maqna.
Sebanyak 89,4% rakyat Gorontalo mengaku puas dengan Gubernur Rusli Habibie. Survei yang dilakukan bulan September 2021 itu menyasar 800 responden secara tatap muka yang tersebar di lima kabupaten dan satu kota.
Metode survei dilakukan acak atau multistage random sampling dengan usia responden 17 tahun atau sudah menikah. Toleransi kesalahan 3,46% dengan tingkat kepercayaan 95%.
Lebih jauh, cangkupan daerah yang sangat puas dengan kinerja Rusli Habibie yakni kabupaten Boalemo (47,0%), kabupaten Gorontalo (30,4%), kabupaten Gorontalo Utara (45,6%).
Sementara hasil penilaian cukup puas terhadap kinerja Rusli Habibie yaitu kabupaten Pohuwato (84,0%), kota Gorontalo (82,3%), dan kabupaten Bone Bolango (75,5%).
Sedangkan penilaian terhadap kinerja Wakil Gubernur, Idris Rahim memperoleh hasil 86,6% sangat puas dan cukup puas. Hasil ini naik jika dibandingkan hasil survei sebelumnya. (Sumber; gorontaloprov.go.id).
Tak Cukup Sekedar Nama
Tentu saja siapa pun memiliki hak konstitusional untuk menebarkan aroma "niatan" mengganti kesinambungan kepemimpinan daerah. Tersebutlah nama-nama yang direkomendasikan melalui konsensus pertemuan partai politik.
Golkar Gorontalo, menawarkan Roem Kono, Idah Syahidah Rusli Habibie, Marten Taha, dan Syarief Mbuinga. NasDem, mempercayai Rachmad Gobel. Gerindra tetap setia dengan Elnino Mohi.
Jangan lupa dengan PPP, mendorong Prof. Nelson Pomalingo sebagai kandidat tunggal. Masih ada PKS yang menyodorkan 4 nama; Abdurahman Abubakar Bachmid, Adnan Entengo, Idris Rahim, dan Yasin Usman Dilo.
Partai lainnya seperti PAN, Demokrat, Hanura, PKB, dan PDIP masih perlu kita perhitungkan. Melihat pengaruh mereka sebagai lumbung penyeimbang eksekutif.
Secara diam-diam nama-nama itu telah menjajaki pasar "konstituennya" masing-masing. Partai politik lainnya juga demikian. Dengan cara dan tips yang mereka yakini.
Toh pada akhirnya siapa pun yang diusung, Gorontalo akan tetap berjalan sesuai takdirnya. Apalagi ada sebuah adagium bahwa semakin bagus janji politik itu ditawarkan, kian kuat janji-janji itu untuk dipungggungi di kemudian hari.
Di musim pilkada langsung, popularitas dan elektabilitas menjadi modal utama, disamping finansial. Bahkan mungkin finansial ini yang paling dominan pada setiap diskusi warung kopi dalam ungkapan "mahar".
Semula "mahar" itu istilah teknis fikih berkaitan dengan urusan kawin (munakahat), sekarang ternyata bertemali dengan dunia politik. Atau mungkin, seperti dalam obrolan ringan dengan kawan di kantin kampus, politik itu berkaitan dengan "pelaminan".
Karena tidak ada minum kopi gratis. Melihat gelagat pertemuan antara elite partai politik jangan dibaca secara lugu. Tidak ada pertemuan dan dukungan cuma-cuma.
Partai politik hitungannya bukan sebatas kursi kekuasaan, tetapi juga investasi meraup suara saat pemilu di depan mata. Dalam demokrasi elektoral, mesin politik itu membutuhkan biaya sangat besar maka biasanya salah satu pundinya adalah meminta "mahar" dan setelah itu menyimpan "kadernya" di kursi kekuasaan.
Potret murah meriah dalam politik tidak akan kita temukan. Semuanya harus berakhir dalam transaksi yang "mahal". Jika tidak membawa bekal "mahar", maka konsolidasi akan berakhir ringan-ringan saja. Niatan elite politik dengan mimpi besar tanpa cots politic dipastikan berujung angan-angan.
Netizen; Peran dan Baperan
Di luar mahar, halaman muka politik elektoral erat hubungannya dengan saling merisak. Seorang yang semula dipuji-puji sedemikian rupa karena gerakan moralnya, ketika masuk gelanggang demokrasi maka dia tidak bisa menghindari hukum besi kekuasaan.
Akan di puji neziten dan atau dicaci maki gerombolan netizen lainnya. Siapa pun penguasa itu dan dari mana pun datangnya. Karena biasanya neziten akan terpolarisasi; terlibat adu gentreng di medsos sebagai lovers atau ikut baperan sebagai haters.
Tak heran ketika kemenangan diraih, kekuasaan akan menjadi penyulut saling siku antar pendukung. Yang kalah tidak akan pernah berhenti mencari titik celah kesalahan. Kalau perlu dengan memfitnahnya.
Apalagi di zaman media sosial yang menjadi tools paling murah dalam berkampanye. Perang kata-kata, ejek-ejekan, dan nyinyir-sindir tidak lagi dikemas sebagai "sensasional" yang waras agar esensi kampanye tetap pada rel yang berkelas.
Laku Politik
Tentu tidak ada yang keliru dengan mimpi siapa pun yang berminat menjadi Gubernur atau jabatan publik lainnya. Terkenal ataupun tidak. Akan tetapi, sejauh mana mimpi itu bisa direalisasikan dan berfaedah.
Yang biasa terjadi karena tidak mempunyai kemampuan yang tadinya bertekad membenahi birokrasi justru terbawa limbus kekuasaan.
Rakyat Gorontalo perlu sejak dini memproteksi visi, dan pandangan politik serta jejak pemikiran dari elite politik yang sedang memoles diri. Tidak cukup rakyat Gorontalo "bertepuk tangan" atas bantuan yang telah diberikan oleh penguasa, itulah fungsi mereka sebagai "manusia" yang harus mendistribusikan hak rakyat.
Sedikit kita perlu belajar dari sejarah laku manusia-manusia politik zaman silam. Bahwa yang membuat manusia-manusia itu hebat salah satunya karena mereka maju ke arena politik tidak dengan kepala kosong, tetapi dilengkapi amunisi konsep yang jelas.
Datang dengan kekuatan literasi tak terbantahkan. Soekarno, Hatta, Syahrir, Muh. Yamin, Amir Syarifuddin, Agus Salim, Tan Malaka, Wahid Hasyim, Djuanda dan sebagainya bukan ujung-ujung menjadi penguasa Indonesia diproklamasikan 1945.
Mereka sejak 1920 sudah berdebat tajam tentang ideologi seperti dapat kita baca dalam buku-buku pergolakan yang dihasilkan. Bahkan ketika berada di penjara kolonial Belanda menjadi manusia buangan, proses debat kebangsaan itu terus dilangsungkan dengan meriah, menukik dan sarat ilmu pengetahuan.
Prolog Pilgub
Di Pilgub Gorontalo nantinya tidak ada figur determinan. Semua nama-nama itu memiliki kemungkinan kalah dan menang. Hanya saja survei prediksi jangan dijadikan "pintu" utama menggaet konstituen. Kadang kalah survei bisa berantakan mana kala kepercayaan diri terlalu melayang.
Bagi siapa pun, takhta adalah godaan. Harus disikapi hati-hati. Saya jadi ingat, Soekarno pernah memanggil Tan Malaka juga Syahrir untuk bertemu dan membahas jika terjadi kekosongan pucuk pimpinan nasional. Keduanya saling malu dan terselip keinginan yang menggiurkan itu.
Walaupun akhirnya, keduanya saling melempar manifesto politik tentang arah dan cara memperjuangkan kemerdekaan. Syahrir menjadi Perda Menteri pertama. Sedangkan, Tan Malaka berakhir diujung senapan bangsanya.
Kekuasaan harus dikelola dengan tenang. Peluang-peluang kekuasaan pun tak bisa dipandang sebagai keberkahan. Saya meminjam pekikan Bung Pramoedya; adil sejak dalam pikiran. Sepertinya kalimat itu masih relevan untuk dijadikan rujukan dalam meniti karier politik di zaman yang kian tajam.
Komentar
Posting Komentar