BIROKRASI "Pahlawan" PRESTASI

Oleh : Zulkarnain Musada. Foto : (Sumber, menpan.go.id).



Mungkin tidak musimnya pahlawan berperang seperti zamannya Jenderal Sudirman. Saat ini, justru tugasnya mengisi kemerdekaan setelah direbut oleh manusia-manusia pelopor sebelumnya. Dengan demikian, pembangunan menjadi pilihan sejak kemerdekaan diperoleh. Sasarannya menginduk pada tujuan negara yang terpahat tegas dalam pembukaan UUD 1945.

Tidak mudah mewujudkan hal diatas ditengah geliat kebutuhan yang semakin menumpuk. Bahkan, kekuatannya bisa mengalahkan nilai. Tak heran jika sejumlah muatan nilai yang ada di agama, budaya, dan negara pun dinodai agar bisa diselaraskan dengan kebutuhan oleh sejumlah oknum yang oportunistik bahkan terkesan hedonis.

Jangan heran jika kesimpangsiuran pemahaman atas praktik pembangunan menjadi terlihat sulit bahkan jalan ditempat untuk terintegrasi akibat perspektif penilaiannya berdasarkan kebutuhan yang berbeda-beda.

Tatidor
Birokrasi pasti menjadi penting dalam kondisi kemajemukan tersebut. Jika disimulasikan, legislatif adalah "libero" mengawal agenda pembangunan yang diharapkan mampu menjaga suara kepercayaan rakyat.

Bupati dan Wakil Bupati sebagai "striker" pada lini depan pembangunan yang kian mempertajam peluang-peluang janji kampanye lampau agar lekas dirasakan. 

Sekretaris daerah dalam posisi "playmaker" dapat mengatur irama tata kelola birokrasi yang proporsional, akuntabel dan humanis. Begitu pula dengan OPD, merampingkan dan mengeksekusi visi-misi Bupati dan Wakil Bupati agar tersalurkan secara efektif dan menghasilkan kepuasan publik yang baik.

Perselisihan pandangan juga perbedaan paham patut terus diselaraskan. Kalau tidak, mutasi jabatan dan bongkar pasang posisi ruang kerja bisa bersifat kepentingan formalitas yang berakibat pada target RPJMD.

Birokrat Gorontalo Utara patut bercermin pada penilaian reformasi birokrasi yang semakin merosot. Pelayanan yang menempati posisi "degradasi" dibeberapa tahun belakangan. 

Skor RB Gorut memperoleh nilai "DD" tahun 2020. Nilai RB dapat diobati dengan evaluasi SAKIP 2019 dan 2020 dengan nilai "B". Tentu bukan sesuatu yang perlu dibanggakan. Inilah hantaman keras jika "striker" eksekutif terkesan 'puasa gol', walaupun visi-misinya terbang melangit.

Rangkaian aktivitas penggodokan reformasi birokrasi Gorut melalui pelatihan, FGD dan pertemuan lainnya yang sering dilakukan di hotel, namun tidak membawa apa-apa. Gemuk meeting, tapi kurus planning.

Tidak ketinggalan penilaian atas BUMD dan PUDAM Gorut. Membaca LAKIP BPKP Provinsi Gorontalo, tingkat kesehatan BUMD Gorut 2020 mengalami "sakit". Sedangkan evaluasi kinerja PUDAM Gorut 2019 mendapat skor 1,35 dengan predikat "sakit" dan tahun 2020 menempati skor 1,83 dengan predikat "sakit".

Kondisi ini memerlukan blue print perbaikan yang mesti dirancang akurat agar menjadi patokan melangkahkan arah secara komprehensif. Dengan cara itu, kemajuan dalam kehidupan birokrasi, ekonomi, sosial-budaya, serta politik bisa melesat cepat.

Bisa jadi penegakan terhadap birokrasi yang bersikap "tatidor" penting agar langkah bersama lekas digagas. Pemberian punisment dan reward dijadikan rangsangan tegas. 

Suara sumbang yang berasal dari publik dapat dijadikan "teguran" untuk mengevaluasi langkah yang mungkin lamban atau keliru. Kepercayaan yang semakin kuat dari publik dapat mengalirkan dukungan yang efektif agar berpartisipasi pada sejumlah program pemerintah.

Pastilah tercapainya tata kelola pemerintahan yang baik dengan aparatur yang berintegritas tinggi, produktif, dan melayani secara prima menjadi payung harapan publik. 

Perencanaan, pengukuran kinerja, pelaporan kinerja, evaluasi kinerja, dan capaian kinerja selalu digenggam erat agar kepuasan publik semangat lekat.

Dengan totalitas itu, menjadikan birokrasi lebih berwibawa. Tak perlu lagi saling melempar "salah ini dan salah itu". Maka, antipati publik dapat diminimalkan. Kepercayaan publik semakin mendekat.

Tidak berlebihan bila Friedman dan Hechter (1988) menghendaki penegakan aturan dalam berbagai sektor kehidupan, baik keluarga, masyarakat, maupun negara. Dengan cara ini, perilaku buruk tidak dapat berkembang.

Posisi demikian, membuat disiplin terbangun karena seluruh sektor memberikan persepsi sama. Dalam pemerintahan, kepentingan organisasi menjadi utama. Jika kepentingan pribadi-pribadi yang mendominasi stakeholder, seperti Kotter (2001) tuliskan, bisa menjadi menguatnya sejumlah resistensi antarpihak sehingga pembangunan yang dilakukan "tatidor" alias rebahan.

Ba Dengar
Agar pembangunan lebih mengarah pada tujuan akhir, pelibatan publik dalam setiap penentuan tujuan meski terus digerakkan.

Silang pandangan perlu dimediasi dengan argumen dan praktik yang bersahabat. Tatkala ada langkah yang keliru, tidak boleh ragu meminta maaf dan memperbaikinya.

Hal demikian akan lebih elegan, ketimbang mencari narasi untuk menutupi kesalahan yang berujung melemahnya kepercayaan publik.

Sok tau, sok tegar, sok pintar dan sok-sok yang lain dari tubuh pemerintah perlu ditanggalkan. Telinga dipasang secara humanis ke segala arah. Mendengar lebih dipadatkan daripada kata-kata. Kesantunan disandingkan dengan ketegasan. 

Label "orang si anu dan si itu" disudahi. Pengangkatan pejabat tidak membawa atribut primodial. Semua cara itu telah usang. Publik selalu memasang wajah datar, jika model pemerintahan masih berhitung peluang bisnis kekuasaan.

Ambisi mimpi janji kampanye perlu memadukan amunisi yang matang. Keberanian diperlukan dalam mencapai visi-misi. Menancapkan birokrasi yang bermutu tak sekadar slogan dan simbol kehormatan.

Kesolidan mengubah diri dan menyambut kritik publik dengan bijak dan menorehkan prestasi menjadikan birokrasi sebagai pahlawan zaman kekinian.

Komentar

Postingan Populer