LEGACY; Regenerasi Hukum Laut

Oleh : Zulkarnain Musada. Foto : (Dok. Pribadi).


Setelah mempertimbangkan isi Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957, akhirnya wujud NKRI sebagai negara kepulauan mendapat pengakuan internasional melalui UNCLOS ke-3 tahun 1982, yang telah diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 1985.

Tambahan wilayah perairan laut yang substansial, dua kali dari wilayah darat yang diperjuangkan hanya melalui jalur diplomasi "tanpa letusan senjata dan korban jiwa" selama 24 tahun.

Apa yang diperjuangkan oleh Prof Mochtar dan kawannya selama 24 tahun menciptakan keutuhan geografis NKRI, suatu "condotio sine qua non" terhadap pengelolaan sumber daya alam dalam arti luas secara berkelanjutan.

Ke depan, perjuangan mewujudkan kedaulatan perairan akan menjadi lebih kompleks. Keutuhan geografis akan selalu menjadi aktual dengan banyaknya sengketa wilayah laut di kawasan Pasifik. Namun demikian, tantangan pengelolaan sumber daya pesisir dan laut yang berkelanjutan akan menjadi "problem set" yang teramat pelik.

Antara lain dengan adanya fenomena akselerasi perubahan iklim, pertambahan dan mobilitas penduduk secara global, serta makin tipisnya cadangan sumber daya alam. Selain itu, pandemi Covid-19 yang sedang terjadi juga perkembangan teknologi informasi digital akan menciptakan dinamika yang tanpa preseden.

Menghadapi semua hal tersebut, sangat diperlukan adanya kesepakatan-kesepakatan baru yang terkelola dengan baik dan komprehensif untuk menjamin terwadahinya perubahan-perubahan secara damai.

Dewasa ini, perjanjian-perjanjian tentang pengelolaan sumber daya alam masih terkesan condong ke manajemen terestrial, sedangkan yang bertema kelautan masih sporadis dan belum terjalin dengan rapi.

Kejadian serupa terpampang jelas pada garis demokrasi kita. Monolog visi-misi kepala daerah (gubernur, bupati dan walikota) yang mempunyai gugusan sumber daya kelautan/pesisir hanya sebatas ide yang berbusa, akibatnya narasi dan policy-nya membuat kepala daerah babak belur dan berujung kerja tersiksa.

Maka, untuk mengarah kepada rezim pengelolaan yang secara geografis bersifat holistik, maka Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan potensi sumber daya kelautan yang melimpah memerlukan "regenerasi ahli hukum laut".

Zaman kini, terasa minat mendalami hukum laut masih kurang dibandingkan dengan kebutuhan masa depan. Hal tersebut disebabkan antara lain ada kesan jenjang karier seorang ahli hukum laut dipersepsikan terbatas dilingkup pemerintahan saja. Di pihak lain, seorang ahli hukum laut dituntut untuk mempunyai basis pengetahuan yang luas dan multidisiplin.

Selain itu, pola pikir manusia Indonesia masih dibelenggu oleh apa yang ditanamkan kepada para anak didik kota bahwa Indonesia adalah negara agraris. Sebuah mindset zaman dulu.

Saya membayangkan terminologi itu seyogyanya sejalan dengan apa yang dikatakan Karl Marx dan Friedrich Engels dalam materialisme historis; dalam pandangan ini, bukan kesadaran manusia yang menentukan keadaan mereka, tetapi keadaan sosial mereka yang menentukan kesadaran mereka.

Demikian pula kepada kita selalu ditanamkan pesan; "mengejar ketertinggalan dari bangsa lain". Tidak ada panggilan untuk mengedepankan keunggulan kompetitif.

Akhirnya; visi keunggulan kompetitif dan melahirkan generasi ahli-ahli hukum laut merupakan salah satu jalan keluar utama.

Komentar

Postingan Populer