Gramsci; State Eugemonia




Asumsi dasar dari konsepsi Negara dan Hegemoni Gramsci berakar pada konsepsi fundamental marxisme tentang negara. Namun, Gramsci mempunyai interpretasi yang berbeda pada dataran strategi dan taktik revolusioner bagi penciptaan revolusi sosialis di negara kapitalisme maju. Dengan demikian, kita harus menarik sebuah alur logika yang historis, agar uraian premis dapat merangkum penjelasan tentang Negara dan Hegemoni menurut Gramsci, serta posisi teoritisnya dalam kancah pemikiran Marxisme.

Pertama, titik mula analisis Marx tentang Negara sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan filsuf 'naturalis' pendukung liberalisme. Seperti halnya kaum filsuf 'naturalis' (Hobbes, Locke dan Rousseau), Marx percaya bahwa eksistensi masyarakat mendahului adanya Negara. Namun, ia tak setuju dengan analisis kaum liberal yang menolak realisasi negara jika ia hanya mengekang kebebasan. Marx justru menganggap eksistensi negara diakibatkan oleh adanya ketidakberesan yang sifatnya fundamental dari masyarakat. Ketidakberesan itu bersumber pada proses produksi masyarakat yang tidak adil, dimana terdapat pembagian klas, antara mereka yang bermilik (borjuis) dan mereka yang tak punya alat produksi (proletar). Menurut Marx negara tidak mengabdi kepada kepentingan seluruh masyarakat, melainkan hanya melayani kepentingan klas-klas sosial tertentu saja, menjadi alat suatu klas dominan untuk mempertahankan kedudukan mereka.

Pandangan Marx (dan rekannya Engels) yang pengaruhnya cukup luas itu, merupakan hasil dari pandangan filsafatnya tentang masyarakat dan sejarah, yang dikenal dengan materialisme historis. Inti konsep itu adalah tentang hukum perkembangan masyarakat, yang mengikuti hukum materialisme dialektik sebagai fundamen ontologisnya. Inti pandangan ini adalah bahwa perkembangan masyarakat ditentukan oleh bidang produksi. Dengan demikian, bidang ekonomi merupakan basis (basic structure), sedangkan dua dimensi kehidupan masyarakat lainnya, institusi-institusi sosial, terutama negara, dan bentuk-bentuk kesadaran sosial merupakan bangunan atas (super structure).

Marx memandang kondisi material dari masyarakat sebagai basis dari struktur sosial dan kesadaran manusia. Maka, bentuk negara pun muncul dari hubungan-hubungan produksi, dan bukan berasal dari cita pikiran manusia. Atau, dalam bahasa liberalisme, sebagai keinginan manusia untuk berkolektif. Bagi Marx, kesadaran manusia yang membimbing dan menentukan hubungan individu dan masyarakat adalah produk dari kondisi material, yaitu cara suatu benda diproduksi, didistribusi dan dikonsumsi.

Jadi, menurut Marx masyarakatlah yang membentuk negara, dan masyarakat dibentuk pula oleh cara produksi yang dominan dan hubungan-hubungan produksi yang ada didalamnya. Karena itu, negara merupakan ekspresi politik dan struktur klas yang melekat dalam produksi. Dalam masyarakat berklas seperti masyarakat kapitalis, negara didominasi oleh kaum borjuis, dan oleh sebab itu negara merupakan ekspresi politik dari klas dominan itu. Dalam rumusan Marx yang terkenal; negara adalah panitia penyelenggara kepentingan klas borjuis

Munculnya negara dalam masyarakat kapitalis akibat dari tidak terdamaikannya pertentangan klas (antara borjuis dan proletar) dalam struktur masyarakat tersebut. Negara juga mengontrol perjuangan sosial dari kepentingan ekonomi yang berbeda, dimana kontrol tersebut dipegang oleh klas yang kuat secara ekonomi dalam masyarakat. Dengan demikian, negara juga menjadi alat represif dari kelas yang berkuasa.

Kedua, Lenin mengembangkan lebih lanjut proposisi Marx yang terakhir itu. Negara adalah alat klas dominan yang mempunyai fungsi represif. Dalam masyarakat kapitalis, negara merupakan senjata represif dari kaum borjuis terhadap klas proletar. Hakikat negara adalah bahwa ia muncul dari hasil pertentangan klas, karena itu negara akan melenyap apabila pertentangan klas telah hilang. Menurut Lenin, agar sosialisme bisa ditegakkan aparatus represif dari negara borjuis harus dilawan dengan cara kekerasan melalui revolusi. Jika aparatus represif itu telah hancur, maka negara juga tidak berfungsi lagi. Namun, karena borjuis tak mau kehilangan hak istimewa, dan pasti memberikan reaksi atas kepemimpinan proletar, maka negara (yang berwatak represif itu) harus diambil alih oleh klas proletar dengan mendirikan kediktatoran proletariat menggantikan kediktatoran borjuasi. Setelah alat-alat produksi disosialisasi, maka dengan sendirinya klas akan hilang, yang berarti 'melenyap'nya negara. Lenin membuktikan fase kediktatoran proletariat itu melalui Revolusi Rusia 1917, yang berhasil menggulingkan Tsar.

Ketiga, Gramsci sangat terpengaruh dengan keberhasilan Revolusi Rusia yang didesain oleh Lenin itu. Namun, ada fakta yang mengganjal sehingga revolusi yang sama tak dapat disebarluaskan ke seluruh Eropa. Gramsci menilai ada perbedaan dalam soal watak negara antara Eropa Barat dan Rusia. Eropa pada umumnya berkembang jauh lebih maju, sehingga memiliki formasi masyarakat sipil dan negara yang khas. Buktinya, negara borjuis di Eropa berhasil memanipulasi kesadaran para buruh, sehingga mereka setuju dengan ideologi kapitalisme dan kehilangan militansi revolusionernya.

Gramsci memakai konsep hegemoni untuk menjelaskan bagaimana masyarakat kapitalis modern memperbaiki dirinya dan mampu menjaga kekuasaannya atas para buruh. Ia mulai mengkritisi determinisme Marxisme ortodoks tentang basis dan super struktur. Konsepsi Marxian klasik mengatakan bahwa masyarakat sipil berada pada 'momen' basis struktur. Namun, Gramsci justru menganalisisnya sebagai bagian dari super struktur. Ia membagi dua tingkat super struktur ini; Pertama, adalah 'masyarakat sipil' yaitu kumpulan organisme yang biasa disebut 'privat'. Dan kedua adalah 'masyarakat politik atau negara'. Kedua tingkatan super struktur ini sangat berkaitan dengan fungsi 'hegemoni' yang dilaksanakan oleh klas dominan. Sementara itu, disisi lain, ia berkaitan erat dengan 'dominasi langsung' yang diekspresikan oleh negara.

Jadi, hegemoni digambarkan sebagai suatu proses equilibrium antara masyarakat sipil dan masyarakat politik. Atau secara spesifik, suatu realitas politik dimana terdapat equilibrium antara 'kepemimpinan (direction)' yang berbasiskan pada persetujuan, dengan 'dominasi (dominazione)' yang berbasiskan pada kekerasan dalam pengertian yang luas. Jadi, dengan prespektif ini Gramsci membuat formulasi tentang negara sebagai masyarakat politik ditambah masyarakat sipil, atau hegemoni yang diperkuat dengan kekerasan (masyarakat politik atau negara).

Keempat, konsepsi hegemoni Gramsci harus diletakkan dalam kerangka dirinya sebagai seorang revolusioner yang tugasnya menciptakan revolusi. Melalui konsepsinya tentang hegemoni ia berupaya merumuskan suatu alternatif strategi bagi revolusi sosialis, khususnya di Italia dan Eropa umumnya. Negara-negara kapitalisme maju, menurutnya telah mengembangkan tatanan masyarakat sipil yang kompleks dan memunculkan kekuatan-kekuatan super struktur yang kompleks juga.

Menurut Gramsci, para buruh kehilangan kesadaran klasnya karena terpisah secara dialektis dari hukum sejarah. Pemisahan kesadaran dalam klas yang sama ini terjadi akibat adanya dominasi klas dominan yang mempergunakan tidak hanya kekuatan kekerasan (koersi) tapi pada saat yang sama juga kekuatan moral dan intelektual, serta melakukan kesepakatan-kesepakatan dengan berbagai macam aliansi yang kemudian disatukan dalam satu blok sosial. Gramsci menyebut tendensi ini sebagai "blok historis" (historical bloc). Blok historis ini hanya terbentuk apabila klas dominan berhasil memunculkan suatu equilibrium dalam menjaga hegemoninya atas masyarakat melalui 'kepemimpinan' dan 'dominasi', atau persetujuan dan kekuatan kekerasan.

Blok inilah yang mewakili sebuah dasar bagi tatanan sosial tertentu. Dan disinilah hegemoni klas dominan direproduksi kedalam lembaga-lembaga, organisasi dan gagasan-gagasan. Benang hegemoni ini dirajut oleh intelektual yang secara organisasional berperan dalam hubungan sosial di dalam masyarakat. Gramsci membedakan dua tipe intelektual. Pertama, adalah 'intelektual tradisional' dan kedua adalah 'intelektual organik'. Intelektual jenis pertama, adalah kelompok intelektual yang seakan terpisah dari klasnya walaupun mereka sendiri merupakan produk dari klas tersebut. Yang kedua, intelektual organik adalah intelektual yang berasal dari klas tertentu, yang berpikir dan mengorganisir klas sosial tertentu. Kelompok ini berpenetrasi sampai ke massa. Alat utama bagi perjuangan proletar untuk menyebarluaskan budaya buruh adalah partai. Partai mengintegrasikan intelektual secara kolektif.

Kelima, Gramsci membedakan dua tahap serangan terhadap negara borjuis. Pertama adalah perang posisi (war of position) dan kedua adalah perang siasat (war of manouver). Perang posisi, merupakan perang jangka panjang dengan sasaran super struktur kebudayaan dari klas dominan, dimana dalam proses itu klas buruh menyiapkan jalan untuk terbentuknya budaya baru dan negara tipe baru melalui kritik terhadap ideologi dominan. Jika ada momet yang tepat, maka perang siasat atau tindakan revolusioner dengan menggunakan kekerasan dapat digunakan untuk menggulingkan rezim kapitalis ketika mereka mengandalkan kekerasan untuk mempertahankan kedudukan mereka.

Keenam, menurut Gramsci, jika kepemimpinan (direction) mulai macet dari genggaman ideologis terhadap massa mulai melemah, maka negara memasuki suatu keadaan kritis. Gramsci menyebutkan realitas ini sebagai 'krisis hegemoni'. Krisis itu dapat bersumber pada kegagalan klas dominan dalam memecahkan problem-problem mendasar masyarakat. Krisis itu akan membuka ruang bagi klas lainnya dalam masyarakat untuk melakukan penetrasi politik, dan memajukan sampai pada posisi yang hegemonik. Namun, untuk mencapai posisi yang hegemonik itu, suatu klas harus mampu menampilkan kepentingan 'universal' ini karena ia semata-mata hanya melayani kepentingan klasnya saja dalam hubungan produksi. Bagi Gramsci, klas proletar memenuhi persyaratan ini, jika ia dapat menggabungkan seluruh sektor untuk sebuah proyek alternatif yang bertujuan untuk memecahkan problem-problem pokok dalam masyarakat.

Dengan demikian, menurut Gramsci, reformasi yang dilakukan oleh Sosial Demokrasi dan Welfare State (Negara kesejahteraan) pada sejumlah negeri, adalah untuk merespon tendensi perjuangan klas yang dilakukan oleh kaum buruh revolusioner. Maka, realitas itu terjadi karena meningkatnya kapasitas negara dalam mengambil tanggungjawab bagi sejumlah problem sosial dan ekonomi (dan memberikan tuntutan-tuntutan yang bersifat korporatif) tanpa merombak struktur masyarakat yang menjadi sebab dari akar persoalan itu. Inilah satu segi dari apa yang disebut 'revolusi pasif' (passive revolution).

Maka, klas proletar harus mampu mentransedensikan kepentingannya dari taraf korporatif-ekonomis, kearah yang lebih 'universal'. Ini berarti intervensi politik yang dilakukan dalam menangani krisis, harus mampu menyatukan kepentingan-kepentingan sektor masyarakat yang lain.

Bagi klas buruh, krisis itu memberikan sebuah landasan bagi intervensi klas pekerja, suatu kesempatan untuk suatu kreativitas, yang bermakna pada peran hegemonik. Jika klas pekerja tak mengambil kesempatan ini, dominasi klas borjuis dapat ditegakkan kembali oleh borjuasi dalam bentuk yang baru, yang bermakna pada reorganisasi ekonomi dan memelihara blok historis untuk mendukung eksistensi negara yang telah ada.

Dengan demikian, hegemoni yang dibangun klas buruh itu, harus merupakan sebuah respon non-korporatif terhadap krisis kapitalisme. Inilah satu-satunya cara mengembangkan solusi yang berbeda terhadap krisis yang terjadi, sebagai hasil dari sebuah perjuangan klas dengan melibatkan seluruh sektor masyarakat. Suatu solusi yang merupakan bagian penting dari proses bergeraknya masyarakat menuju sosialisme.

Evaluasi Kritis

Berbeda dengan Mao di Cina, dan Lenin di Rusia, Gramsci tidak pernah mempraktekkan kebenaran teorinya dalam konteks perjuangan revolusioner di Italia. Ia harus meringkuk dalam penjara sampai ajalnya, setelah kegagalan gerakan buruh di Turin. Dalam doktrin marxisme klasik adalah praktek yang menentukan kebenaran. Dalam kerangka ini, Gramsci memang belum pernah membuktikan kebenaran teoritiknya dalam pengalaman perjuangan klas di Italia.

Namun, refleksi teoritis yang dilakukannya di dalam penjara yang membuahkan konsep Hegemoni ini, telah memberikan inspirasi baru dalam khazanah marxisme. Pertama, ia menolak determinisme ortodoks dalam hal basis menentukan super struktur. Kecenderungan marxis ortodoks ini sering disebut dengan corak esensialisme dalam filsafat marxis. Esensialisme ini bermakna pada seluruh realitas ditentukan oleh bidang produksi. Bagi Gramsci, hubungan basis dan super struktur harus dilihat secara dialektis. Kedua, Gramsci menolak kecenderungan isolasi teoritis terhadap marxisme. Esensialisme dan bahkan kecenderungan reduksionis pada marxisme ortodoks akan membuat terjerumusnya Marxisme sebagai ilmu menjadi teori yang kaku dan mati.

Dalam hal ini, Gramsci terlihat sangat memuja 'kehendak bebas' manusia sebagai agen perubah sejarah. Ia menolak fatalisme dan perubahan mekanistik yang diyakini marxisme ortodoks. Bagi, Gramsci semua hal itu dilakukan olehnya dengan suatu spirit seorang revolusioner sejati; bahwa sesulit apapun kondisi objektif yang dihadapi, peran subjek (klas buruh) dalam perubahan sejarah tidak boleh terjerumus ke dalam posisi pasif. Ia harus aktif dan kreatif. Karena itu, sedikitnya, Gramsci telah menyumbang tentang peran faktor  subjektif dalam ilmu marxisme sebagai tindakan politik, seperti halnya yang dilakukan Lenin melalui vanguard party, partai pelopor yang menyuntikkan kesadaran revolusioner bagi klas buruh.

Pengaruh konsep Gramsci ini kemudian cukup berpengaruh dalam ilmu-ilmu sosial. Terutama setelah karyanya mulai diterbitkan dalam bahasa Inggris. Konsep Hegemoni ini kemudian dipakai oleh banyak kalangan intelektual dan bahan adopsi oleh partai-partai Marxis di Eropa secara umum dalam bentuk Eurocomunism.

Namun, kadangkala, konsep ini juga mengundang perdebatan. Misalnya saja ia sering dipakai oleh banyak kalangan intelektual sosial dan budaya untuk mengkritik realitas masyarakat. Seringkali ditemukan konsepsi hegemoni ini dilepaskan dari konteks historis kelahirannya di Italia, dan jauh seperti apa yang dimaksud oleh Gramsci.

Untuk realitas politik Indonesia sendiri acapkali kita menyaksikan teori Gramsci diadaptasi baik untuk menjelaskan secara kritis fenomena dominasi ideologi yang diproduksi oleh negara Orde Baru untuk melegitimasi kekuasaan atas politik, sosial dan budaya, maupun sebagai pola strategi perubahan sosial yang dilancarkan oleh kelompok politik pinggiran maupun Lembaga Swadaya Masyarakat yang berhaluan transformatif. Namun sayangnya, teori ini justru sering mengalat reduksi, sehingga bagian filsafat politik Gramsci untuk merespon situasi historik pada zamannya tidak dielaborasi lebih jauh. Akibatnya, pola strategi dan taktik yang dilakukan sering mengalami jalan buntu, karena ia tidak berdasarkan kondisi objektif Indonesia, dimana alir problem klas sosial serta kontradiksinya berbeda dengan kondisi Italia dan negara-negara Eropa lainnya.

Agaknya harus digarisbawahi kembali, bahwa teori Gramsci diproduksi untuk menanggapi perkembangan kapitalisme mutakhir pada waktu itu, yang berbentuk kapitalisme monopoli. Kemajuan kapitalisme di Eropa telah mengembangkan super struktur yang kompleks sehingga mempengaruhi kesadaran politik masyarakat sipil disana.

Di Indonesia, dapatlah dikatakan, fenomena kekuasaan negeri ini tidaklah dalam bentuk hegemoni Gramscian, dimana masyarakat memberikan persetujuannya kepada penguasa untuk berkuasa. Idealnya, dalam konsepsi Gramscian, penguasa memenangkan hegemoni total tanpa harus menggunakan kekerasan.

Yang terjadi saat ini, karena pluralitas masyarakat di Indonesia, penguasa sangat sedikit mendapatkan persetujuan total (atau hegemoni total tanpa dominasi atas masyarakat). Negara Orde Baru justru lebih mengedepankan dominasi, yang berarti penggunaan aparatus koersif untuk penegakkan hegemoni. Ini dapat terbaca melalui pola tindakan yang diambil terhadap masyarakat apabila mereka melakukan oposisi politik secara terbuka. Para buruh, mahasiswa dan intelektual lebih sering berhadapan secara frontal dengan aparat kekerasan negara seperti militer, polisi dan penjara dalam setiap kali menyuarakan pendapat yang beroposisi dengan hegemoni politik penguasa.

Jadi, sesungguhnya yang terjadi adalah dominasi politik yang besar oleh negara terhadap masyarakat sipil. Setidaknya, fakta-fakta resistensi (perlawanan) yang dilakukan masyarakat terhadap negara menegaskan kembali hal itu. Berbagai protes dan huru-hara sosial semakin hari semakin menajam. Bahkan sampai lapisan bawah, semisal protes para urban miskin dan buruh yang terus bergemuruh dari hari ke hari, walaupun ditingkat ideologis telah dirumuskan Kesetiakawanan Sosial, Hubungan Industrial Pancasila dan lain sebagainya. Semua itu menunjukkan bahwa ada hegemoni yang tak sampai, atau gagal mencengkeram seluruh lapisan masyarakat. Besarnya tingkat resistensi masyarakat ini, yang berarti merosotnya hegemoni dalam makna persetujuan total terhadap kekuasaan kelompok dominan, kemudian dijawab oleh penguasa dengan menjalankan dominasi. Dominasi, dalam prespektif Gramscian adalah menegaskan kembali hakikat negara sebagai alat kekerasan untuk menjaga kekuasaan klas dominan.

Penonjolan aparatus koersif dari negara, dengan sendirinya akan mengedepankan kekuatan-kekuatan militeristik untuk menangani persoalan-persoalan politik. Dalam sistem seperti ini, supremasi masyarakat sipil dalam kehidupan politik menjadi terancam, dan akan membangun sebuah rezim kekuasaan yang otoriter serta penuh dengan kekerasan dalam setiap penyelesaian konflik politik. Dengan sendirinya ia menggerogoti nilai-nilai demokrasi yang menggantikannya dengan tirani. Kondisi seperti ini tentu menjadi problem besar dalam kerangka menciptakan masyarakat yang adil dan makmur melalui kehidupan politik yang demokratis dan beradab. Suatu transformasi sosial yang lebih adil dan demokratis kelihatannya menjadi kebutuhan yang mendesak.

Zulkarnain Musada.

Tulisan diatas sebagai resensi dari Buku "Antonio Gramsci Negara & Hegemoni" ditulis oleh Nezar Patria dan Andi Arief. Mulai dibaca tertanggal 25 Mei dan selesai 29 Juli 2021.

Komentar

Postingan Populer