PANCASILA; DEMI NARASI VS SESUAP NASI
Keragaman agama, politik dan etnik tak bisa dijadikan motif sesama kita bersengketa. Keragaman, multikulturalisme, pluralisme atau apapun istilahnya adalah takdir yang melekat dalam tubuh bangsa ini. Bukan kutukan, melainkan tambang pensyukuran. Karena unsur keragamanlah satu sama lain bisa saling belajar, kehidupan menjadi warna-warni. Peradaban kian kaya dan sudut pandang tak lagi tunggal. Langit dengan guratan pelangi akan tampak indah dilihat dari seluruh sudutnya.
Hal ini hanya dimungkinkan ketika setiap kita membuka jendela hati dan pikiran agar tetap lapang. Orang lain bukan sesuatu yang terpisah dari eksistensi kita, melainkan menyatu dan jadi bagian tak terpisahkan dari cara kita berada. Perjumpaan dengan liyan menjadi gesekan yang menggetarkan untuk saling menyelami keunikan masing-masing, bahkan bisa ditarik pada ranah transendental; sebagai sumur rohaniah untuk menebalkan penghayatan iman setiap kita. Tuhan sengaja menciptakan serba berbeda agar bisa saling menyapa, merangkul dan hidup berdampingan.
Indonesia secara ontologis lahir lengkap dengan segenap penduduk dengan pilihan agamanya yang beragam, etniknya berlainan, bahasanya yang berbeda, dan budayanya yang tak tepermanai. Kelahirannya dibidani tekad satu sama lain saling berempatik, yang dirumuskan dalam diksi; "persatuan" dan "kesatuan" dengan etik imperatifnya "musyawarah-mufakat", "hikmah" dan "kebijaksanaan".
Pancasila
Titik temu keragaman itu sebenarnya terekspresikan dalam falsafah negara, Pancasila. Pancasila meminjam Yudi Latif; bukan hanya titik tumpu, titik tuju, melainkan juga titik temu. Sila pertama menunjukkan sebuah alamat religius bahwa "ketuhanan" adalah pangkalan metafisis segenap masyarakat. Religiositas yang dilengkapi sikap toleran, saling menghargai, dan pengembangan ekspresi beragama yang terbuka. Sila kedua, mengokohkan tekad bahwa "ketuhanan" pada saat yang sama harus dipantulkan dalam bentuk penghormatan kemanusiaan sebagai prasyarat mutlak terwujudnya keadaban publik. Sila ketiga, menghamparkan realitas sosiologis bahwa keragaman itu akan menjadi energi positif manakala satu sama lain mengikatkan ikrar bersatu. Sila keempat, mengisyaratkan pentingnya mengelola ruang sosial dengan cara musyawarah dan dikuncinya dengan sila kelima, yang mempercakapkan daya ingat kolektif bahwa tujuan pokok dari bernegara adalah keadilan sosial.
Sejarah kelahiran pancasila melambangkan keluhuran manusia pergerakan yang tiba dari latar kultural yang berbeda agar saling memberi sekaligus menerima gagasan satu sama lainnya. Sidang-sidang konstituente periode itu menunjukkan semangat bukan memaksakan kebenaran.
Narasi vs Sesuap Nasi
Dalam 15 tahun terakhir, politik keindonesiaan di haru biru narasi kebencian. Keindonesiaan seolah lahir dan dipaksakan tampil dengan satu wajah. Sesuatu yang seharusnya sudah selesai tiba-tiba ditampilkan lagi dalam panggung demokrasi lima tahunan, semata untuk mengejar tampuk fana kekuasaan dan pragmatisme politik yang berjangka pendek. Politisasi identitas digoreng sedemikian rupa sampai gosong, bahkan hubungan tetangga rontok dan kekerabatan berantakan. Massa diindoktrinasi dengan faham keagamaan sempit, arkaik, dan sangat menghinakan akal sehat.
Politik yang seharusnya menjadi medan untuk menyeleksi pemimpin amanah, kredibel, punya kemampuan manajerial, tiba-tiba seperti menanggung beban teologis sehingga dipanggung kampanye yang tersimpan adalah sumpah serapah dan stigma kafir, sesat, bid'ah kepada mereka yang tak sehaluan keyakinannya. Ayat-ayat Tuhan dikutip bukan demi mengagungkan Diri-Nya, melainkan sekedar mencari legitimasi, orang lain tak layak menjadi pemimpin.
Tenun Data Yang Menyayat
Survei CSIS yang dilakukan pada 23-30 Agustus 2017 mengerucut, pada soal keagamaan ternyata generasi milenial yang kita pandang bisa berpikir rasional menampakkan cara pandang politik eksklusif. Angka 58,4 persen sama sekali tak mau menerima pemimpin yang tidak sama agamanya. Sebanyak 39,15 persen menerima pemimpin yang berbeda pilihan keyakinan.
Wahid institute dan Lembaga Survei Indonesia merilis 10 kelompok yang sering jadi sasaran kebencian masyarakat dan acap diartikulasikan dalam bentuk kekerasan fisik. Mereka adalah; LGBT (26,1%), komunis (16,1%), Yahudi (10,7%), Kristen (2,2%), Syiah (1,3%), Wahabi (0,5%), Buddha (0,4%), China (0,4%), Katolik (0,4%), dan Konghucu (0,1%).
Dari survei itu tergambar 59,9 persen responden memiliki kelompok yang dibenci. Dari angka ini 92,2 persen tidak setuju jika anggota kelompok yang dibenci menjadi pejabat pemerintah di negeri ini. Sementara 82,4 persen tidak rela anggota kelompok yang dibenci menjadi tetangga mereka (Munawir Azis, 2018).
Kebencian narasi ataukah nasi; inilah yang jadi agenda besar politik keindonesiaan kedepan. Pelampauan ini penting karena fakta sosial kita yang beragam dan persoalan teologis yang seringkali dipaksa menyelesaikan segala hal ihwal. Saatnya keragaman dan tafsir teologis diarahkan ke upaya penguatan simpul politik kewargaan. Kesadaran tentang "kewargaan" yang sanggup mengokohkan kebangsaan dan kita tak lagi mudah diprovokasi oleh predator demokrasi dan kaum demagog yang setuju dengan segala cara agar meraih suara dan memburu tahta.
Komentar
Posting Komentar