ANGKET, KRITIK YANG LENGKET
Oleh Zulkarnain Musada. Foto; Sumber IN.
Bila kita mengingat riwayat bagaimana Julius Caesar jatuh ditikam mati Brutus, Saddam Hussein jatuh karena serbuan militer AS, Shah Iran jatuh oleh revolusi kaum Mullah, hingga Soeharto jatuh akibat reformasi, maka kita tersadar akan satu makna "kekuasaan yang membengkak cenderung lupa kepada dirinya sendiri".
Kekuasaan yang berkembangbiak, yang tumbuh menjadi gurita, menjadi kekuatan yang sangat dominan, pada saat bersamaan sebenarnya juga sebuah kekuasaan lupa. Ia tidak hanya sebuah kekuasaan yang memaksa pihak lain atau publik lupa pada kerakusan kuasa yang dimilikinya. Tetapi, lebih utama ia lupa pada hal-hal ideal yang dahulu berhasil mendampuknya ke singgasana, ia lupa untuk apa dan demi siapa sebenarnya ia berkuasa dan lebih utama, ia lupa apa kekuasaan itu pada akhirnya.
Gejala psikologis kekuasaan atau semacam sindrom ini sesungguhnya bisa kita temui di banyak tempat, di banyak waktu dalam sejarah peradaban manusia. Begitu pun kita dapat menemukan di negeri sendiri. Di berbagai rezim pemerintahan yang saling berganti, pasca reformasi diproklamirkan.
Bagaimana para pejabat publik yang pernah atau sedang memegang kekuasaan di republik ini, lupa pada makna kekuasaan yang dipegangnya, bahwa kekuasaan itu tak lain adalah sebuah amanah, sebuah titipan yang dipercayakan kepadanya untuk masa yang temporer. Apapun tanggungjawab atau hak yang ada pada titipan itu hanya berlaku sepanjang ia masih memegang amanah itu. Maka untuk itu, sebenarnya mereka pemegang amanah kekuasaan itu telah di sumpah untuk dirinya dan prinsip-prinsip pikirannya.
Kekuasaan yang sedang berjalan menghadirkan polemik yang beragam, sebab demokrasi selalu beririsan dengan politik kepentingan yang menjadikannya sebagai lumbung pemikiran para elite politik. Maka, kekuasaan harus di kritik dalam menjalankan tugas utamanya; menjadikan kebijakan yang dibuat harus menyasar kesejahteraan masyarakat. Memperhalus sekat perbedaan dan menyederhanakan pecahan pandangan yang bersebrangan.
Salah satu dari sekian arus utama kehidupan kekuasaan adalah kritik atas kekuasaan itu sendiri. Kekuasaan akan hambar tak punya nilai rasa jika ia berjalan tanpa adanya bumbu rempah-rempah. Bahkan adonan regulasi dan kebijakan akan lebih terasa kalau saja ia telah diuji publik dan menghasilkan tawaran pandangan.
Angket Kritik yang Lengket
Proses hak angket yang sedang terjadi di Gorontalo Utara (Gorut) hanya mengisahkan dua kemungkinan; tudingan dan tanggapan. Khalayak tinggal menunggu realisasi dari segenap temuan legislatif yang disampaikan di linimasa media sosial. Tentunya, hal yang urgen perihal angket adalah kemenangan rakyat Gorut atas janji yang tengah mereka terima disepanjang masa kampanye Indra-Thariq (IQRA, 2018).
Tidak perlu terus-terusan saling merisak antara pendukung pro dan kontra hak angket, apalagi sampai merusak relasi sosial. Kekuasaan soal rotasi dan sifatnya temporal, itulah saripati dari demokrasi. Kita wajar bersimpati jika hak angket sampai mengorek hal terdalam dari personal yang kita kagumi atau idolakan. Namun, tidak sampai mencederai demokrasi dengan sikap antipati dan alergi terhadap hak angket.
Siapa pun yang "terpanggil" sebagai bagian dari tanggung jawab kewargaan dan jabatan. Kritik DPRD melalui hak angket itu penting untuk memastikan pemerintahan berada pada rute yang sahih dan dalam semangat memperjuangkan kebaikan bersama dan kesejahteraan rakyat.
Kritik tentu berbeda dengan "nyinyir" apalagi "nyindir", yang biasanya dilakukan atas dasar kebencian, menyerang pribadi, suka dan tidak suka serta sama sekali tidak diacukan pada dasar kelengkapan data. Saya teringat sebuah fatwa; "kata dibalas data, data dibalas fakta. Berdata dulu, baru berbicara".
Kelompok anak-anak muda yang berada diluar pemerintahan bisa menjadi "mitra tanding" pemerintah. Memainkan peran tukang kritik secara bertanggung jawab. Kerja-kerja aktivis seperti ini bisa menjadi investasi pengabdian bagi demokrasi. Tukang kritik yang bukan asal bunyi, serampangan dan apa lagi memanipulasi identitas aktivisnya untuk kepentingan jangka pendek. Masyarakat juga citizen sudah cerdas dan punya cara sendiri dalam melihat peta pergerakan, riwayat hidup dan alam pikiran anak-anak muda Gorut.
Tabah dalam kesabaran menerima hasil akhir hak angket secara lapang menjadi penting bagi semua pihak. Belajarlah pada perhelatan Euro 2020 yang tengah tayang tiap malam. Memainkan "si kulit bundar" bukan sekadar permainan fisik, namun makna simboliknya mengajarkan tentang nilai luhur sportivitas utamanya kerja sama kolektivitas, bukan personalitas. Wasit dimuliakan dan semua keputusan diterima. Antar penonton larut dalam kebersamaan. Hak angket mesti meneladani Euro 2020 yang telah menyihir kita.
Komentar
Posting Komentar