PUASA, PROLOG POLITIK

Oleh : Zulkarnain Musada. Foto : (dok. Pribadi).



Tahun 2021 dan 2022 islah tahun-tahun politik. Aura panasnya sudah mulai terasa, bukan hanya di media sosial, melainkan sudah mulai turun ke lapangan. Walaupun tagar ganti ini itu belum juga semarak seperti tahun sebelumnya. Tentu tagar semacam itu bukan sekat agar rakyat terjerat saling bertikai yang memecah belah nuansa kebangsaan menjadi kelompok-kelompok yang sulit dipertemukan.

Elit politik yang mestinya memproduksi diksi ketenangan justru sering menjadi bensin yang tanpa sedikit pun memiliki tanggung jawab kebangsaan, disiramkan di tengah masyarakat yang maniak banalitas politik.

Debat-debat politik di media televisi lokal maupun nasional jika kita simak secara saksama isinya tak lebih hanya tontonan yang mencerminkan betapa politisi yang kita pilih ternyata kualitasnya tidak cukup menggembirakan. Cara mengargumentasikan gagasan nyaris hampa logika. Alih-alih menawarkan jalan baru berpolitik santun dan rasional, justru yang acap kali terjadi ialah artikulasi politik yang miskin data dan tidak ditopang nalar meyakinkan.

Di media sosial lebih mengerikan lagi. Polarisasi itu sudah akut. Algoritma medsos sebagai mesin teknologi dengan kemampuan hebat menghimpun kerumunan orang yang sama pandangannya, semakin mengentalkan fanatisme kelompok, menebalkan identitas perkubuan. Bukan hanya perlunya pikiran yang koheren. Malah, yang kerap ditemui ialah kesombongan timses yang membabi-buta. Tidak kalah juga kelompok "koprolisme", yang senantiasa memandang politik sebagai lahan garapan rezeki, entah menaikkan status sosial sampai pada kepentingan yang melangit.

Media sosial menjadi padang kurusetra, perang kata-kata ditumpahruahkan tanpa etika. Jika dahulu terminal dan pasar sering dijadikan contoh tempat yang melambangkan percakapan kasar, sekarang tempat itu berpindah ke media sosial dengan 'preman' yang jumlahnya lebih banyak dan 'pedagang kecil' yang menjual 'dagangannya' sarat dusta, hoax, dan kabar tak jelas asal usul sumbernya.

Antara komedi dan tragedi berbaur. Khotbah dan sampah saling bertukar tempat. Kebenaran dan kebatilan diikat dalam garis tipis. Kiai sungguhan dirisak habis-habisan, sementara ustadz abal-abal dijunjung tinggi dan dijadikan rujukan keagamaan walau pun ujarannya tak bermutu dan memunggungi kaidah ilmu pengetahuan.

Di media sosial konsep umat bergeser menjadi followers. Tidak ada pertemuan guru dan murid sebagai adab dalam proses pembelajaran seperti yang diajarkan kitab klasik Ta'lim al-Muta'allim, tapi lebih kepada intensitas membaca status, nge-like, atau nge-share gagasan yang dianggap penting diketahui khalayak.

Media sosial tidak saja menjadi tempat jalinan pertemanan menemukan ruangnya, tapi sekaligus memutuskan perkawanan yang dipandang tak sehaluan. Sebuah paradoks sekaligus contradictio in terminis dengan term social media itu sendiri. Hanya diruang maya seperti ini berita kematian di-like sebanyak-banyaknya sekaligus seseorang mengunggah doa lengkap dengan foto dirinya yang paling memikat.

Tidak ada urusan doa itu diijabah atau tidak, tulus atau sekedar pencitraan. Dengan menarik penemu Facebook Zuckerberg menyindir, "Saya bukan Tuhan yang dapat mengabulkan doa kalian. Tak perlu berdoa di linimasa, ini bukan dinding ratapan tempat berdoa jemaat atau rumah ibadah ruang kalian menyampaikan permohonan".


Prolog Politik
Puasa tentu saja bukan hanya persoalan kemampuan menahan lapar sepanjang siang, melainkan harus melampaui defenisi fikih itu. Kalau sekedar itu anak kecil tak banyak mengalami kesulitan. Puasa semestinya juga dimaknai sebagai pintu masuk untuk menahan hawa nafsu, hasrat primitif, dan keinginan rendah yang dapat melunakkan kemanusiaan. Termasuk puasa mengajarkan politik dikelola dengan benar.

Saya menjadi paham betapa tempo hari manusia terpilih baik filsuf atau pun para nabi mereka menjadikan puasa sebagai ibadah kesukaannya. Ternyata puasa tidak hanya dapat membangun kesalehan personal, tetapi juga sosial. Tempo hari perang Badar yang melambangkan pertempuran kebenaran dan kebatilan diselenggarakan pada bulan Ramadan.

Sidarta Gautama melepaskan seluruh atributnya sebagai manusia politik yang gemar berdusta dan mengelabui massa untuk kemudian berpuasa mengosongkan pikir di bawah pohon Bodhis.

Kearifan lama di sepanjang gugusan tradisi penghayatan manusia Nusantara dikenal ungkapan "urakat". Tirakat berasal dari tarekat. Sebuah laku rohaniah yang di antaranya dipraktikkan dengan cara berpuasa. Tirakat sebagai jalan spiritual bukan hanya dalam rangka mencapai ketenangan individu, melainkan lebih dari itu, sebagai upaya mengajarkan kepada khalayak agar kehidupan tak tersandera materi, tidak dikerangkeng daging, dan keinginan-keinginan kebendaan.

Tirakat sebagai simbol penyatuan 'agama' dan 'negara'. Tidak dalam konteks 'raganya' yang bersifat formalistis, tapi jiwanya yang substantifik. Maka, dikemudian hari menjadi bisa dipahami raja-raja yang adil dawahnya dianggap sebagai kepanjangan dari sabda Tuhan.

Kebenaran Tuhan menjelma dalam pribadi sultan. Raja ini secara teologis harus ditaati senapas dengan ketaatan terhadap Tuhan dan nabinya.


Epilog Kritik
Hari ini diakui atau tidak, politik kehilangan jiwanya. Politik menjadi medan konflik, bukan lagi seni mengatur manusia dengan penuh sentuhan ketulusan. Kita sulit menemukan lagi atmosfer politik yang hangat sebagaimana dicontohkan manusia pergerakan tempo hari. Politik berakhlak, mencerahkan, dan sarat ilmu pengetahuan.

Politik hari ini persis apa yang digambarkan Thomas Hobbes, hanya memberikan ruang bagi mereka yang terkuat, memberikan tempat bagi siapa pun yang berduit. Politik yang kehilangan daulat akal sehat, daulat rakyat, dan daulat tirakat. Kalau pemandangan primitif seperti ini yang tak hentinya dirayakan, kita sesungguhnya tengah menggali kubur sendiri untuk bersama-sama ditimbun dalam sejarah yang sepenuhnya tak layak dikenang. Akhirnya yang lemah menjadi abu dan pemenang bernasib tak ubahnya arang.

Pesan sosial puasa, salah satunya "mengingatkan kita tentang pentingnya mengaktifkan politik beradab".

Komentar

Postingan Populer