LEBARAN 4.0

Oleh : Zulkarnain Musada. Foto : (dok. Pribadi).


Detoks media sosial. Demikian sebuah postingan massenger pada laman facebook H-6 lebaran Idul Fitri dari seorang kawan. Pada caption pesan itu, ia mengucapkan selamat lebaran. Ia berpamitan lebih dulu untuk mudik ke kampung halaman. Bukan berarti di kampung fakir sinyal. Namun, karena berlebaran di media sosial dianggapnya mengganggu silaturahmi bersama sanak famili. 

Hari H lebaran, setiap orang berlomba mengirimkan ucapan lebaran. Ada puluhan pesan masuk baik melalui jalur pribadi ataupun grup. Ada dua catatan yang saya cermati. Setiap ucapan tidak satupun yang menyebut nama, orang yang dikirimi ucapan.

Sementara itu, pada grup hampir setiap pemberi ucapan, sambil 'mengintip' meninggalkan grup tanpa balasan. Penghuni grup lain juga, bukan membalas ucapan justru mengirim pesan yang sama. Lalu siapa yang membalas ucapan tersebut? Tidak ada!

Intensitas berlebaran melalui antarmuka sangat intensif dilakukan di kampung halaman. Setiap warga kampung fokus pada perangkatnya masing-masing. Sanak famili pun terabaikan. Lebaran tereduksi oleh perangkat digital. Mereka terkena sidrom post-social. Demikian ditulis oleh Yasraf Amir Piliang, seorang filsuf postmodern dari ITB.

Mungkin ini yang menjadi alasan kawan saya meninggalkan media sosial selama berlibur lebaran. Intensitas lebaran di media sosial mereduksi pondasi relasi kemanusiaan. Pemilik perangkat dianggap sebagai benda yang tidak memiliki identitas selain antarmuka. Diri yang direpresentasikan dianggap melebur menjadi benda. Pesan pun menjadi tak bertuan.


Lebaran 4.0
Jean Baudrillard menyebut fenomena itu sebagai simulasi sosial. Ini suatu kenyataan yang melampaui realitas sebenarnya. Suatu realitas yang hadir karena difasilitasi oleh media. Ia disatukan oleh berbagai komponen teknologi yang hadir dalam internet; jaringan, aplikasi, teknik citra, multimedia. Kenyataan sosial dalam media hanya sebagai hasil citraan.

Meminjam istilah Yasraf, lebaran melalui media sosial adalah lebaran artifisial. Relasi sosial sudah tereduksi oleh teknologi antaramuka. Yang hadir bukan lagi manusia, tetapi aplikasi. Yasraf kembali mengemukakan bahwa simulasi sosial merupakan bentuk permukaan, yang tidak tercipta secara alamiah di sebuah teritorial yang nyata, tetapi di dalam sebuah teritorial halusinasi dari bibit informasi.

Bagi Yasraf, pada tingkat tertentu, simulasi sosial dapat mengambil alih relasi sosial yang sesungguhnya, ketika ruang waktu virtual mengambil alih ruang waktu sosial yang natural. Kematian sosial adalah sebuah kondisi ketika persepsi, kesadaran, dan emosi setiap orang diserap oleh ruang waktu virtual ini, sehingga tidak tersisa lagi untuk ruang waktu ilmiah. Dalam kematian sosial, setiap orang akan sepenuhnya hidup di dalam ruang sosial artifisial, dan menjalankan segala aktivitas di dalamnya, dalam wujudnya yang artifisial.

Wajar jika ucapan lebaran seakan tidak bertuan, ditujukan kepada siapa karena tidak menyebutkan alamat yang dikirim. Dengan demikian, relasi sosial menjadi tereduksi, karena lebaran melalui media sosial sekadar artifisial.

Teknologi yang seharusnya mendekatkan antarpenggunanya justru mengurangi nilai sosial berlebaran. Intensitas yang mendalam terhadap media sosial saat pelarangan mudik justru semakin membenamkan diri pada kehampaan sosial. Terjadilah anomali lebaran itu sendiri.

Lebaran yang identik dengan mudik, silaturahmi dengan sanak famili, bercengkrama dengan tetangga diambil alih oleh teknologi. Yang dihadapan kemudian menjadi asing. Sementara itu, yang jauh pun tidak dekat secara emosional, karena semua berada dalam antarmuka. High tech tidak mampu menghadirkan high touch. Meminjam istilah John Naissbitt, dalam kondisi ini high tech tak mampu memelihara kemanusiaan (low touch).

Sejatinya ini bukanlah kondisi ideal dari lebaran 4.0. Sebab era 4.0 bukan sekadar merayakan kemajuan berbagai macam teknologi aplikasi. Lebaran 4.0 juga harus semakin merekatkan relasi kemanusiaan, melekatkan nilai silaturahmi. Melalui teknologi, intensitas silaturahmi yang harusnya lebih erat, seperti harapan dari Naissbitt, high tech high touch.

Hal ini senada dengan yang ditulis oleh Hermawan Kertajaya melalui kajian dan pemikirannya dalam marketing 3.0 yang berlanjut dengan citizen 4.0 dan marketing 4.0. Marketing 3.0 hadir setelah melalui kehadiran teknologi digital, memfokuskan pada hubungan dengan konsumen, yang ia istilahkan dengan human spirit. Hal ini merupakan tahapan lanjutan dari tahapan kemajuan teknologi yang berfokus pada teknologi itu sendiri.

Sedangkan pada konteks manusia 4.0, tahapan ke-3 dan ke-4 fokus pada pelayanan dan manusia. Salah satu elemen kunci dalam pelayanan adalah empati. Sementara itu, elemen kunci dari manusia adalah keintiman dan passion. Kombinasi dari ketiga elemen tersebut menghasilkan suatu kedalaman hubungan, yaitu suatu hubungan kemanusiaan yang didasarkan pada hubungan tulus dan produktif.

Lebaran pada era 4.0 harusnya memijakkan diri pada hubungan yang bersifat interpersonal, bukan massal. Pada kasus lebaran virtual di atas, hubungan lebih didasarkan pada hubungan massal. Komunikasi yang bersifat massal melalui media sosial tidak pernah menyentuh sisi personal dari sejawat. Semua rekan sejawat dianggap sama, tanpa keunikan apa pun, baik dari kedekatan emosional ataupun keunikan dari sebuah nama. Dengan begitu, nilai-nilai empati dan keintiman menjadi lenyap.

Lebaran bukan hanya mengembalikan diri kedalam jiwa yang fitri, bersih, nol dosa. Juga kembali pada sisi-sisi kemanusiaan kita. Lebaran mengembalikan tujuan silaturahmi, mengencangkan kembali relasi antarjiwa, melunakkan sifat kesombongan dunia dan mengosongkan tabungan rasa hebatnya diri.

Jadikan teknologi hanya alat kebertubuhan, yang pada waktunya perlu ditanggalkan, bukan selalunya melekat. Dengan itu, lebaran akan kembali kepada khitahnya; memfitrikan diri dan mensucikan hati. 

Komentar

Postingan Populer