KRITIK LEWAT ANGKET
Mungkin saja kita tak asing dengan kata kritik. Namun, harus kita akui, kita asing sebagai tradisinya. Kita memang selalu merasa asing atau justru tabu dengan semua yang berbau kritik. Kritik seperti momok amoral dalam nilai-nilai agama atau lebih dimaknai sebagai rasa dengki terhadap karya dan kerja orang. Tapi, toh kritik tetap merupakan tradisi dalam dunia intelektual maupun kekuasaan yang mestinya niscaya ada dalam kehidupan seni, sastra, kepentingan dan sebagainya. Plato serius dengan makna "kritikos" (menilai) untuk menghakimi karya seni yang menurutnya hanya mimesis. Sebuah tiruan dan turunan dari dunia ide yang telah mengada dan abadi. Ia mengkritik tiruan yang tak mungkin sempurna. Tetapi tetap saja ia melakukan kritik untuk idealnya. Demikian pula dengan Aristoteles dalam "poetica", ia meramu standar kritik untuk menilai mutu karya.
Broadway, misalnya, dimana sentral teater di Amerika. Tradisi kritik merupakan kewajiban yang harus ada untuk menguji mutu pertunjukan dan aktornya. Dalam sebuah film Bridman (2014) dibintangi Michael Keaton, memperlihatkan tradisi kritik tersebut. Dimana seorang aktor dievaluasi untuk sampai pada pengukuhan mutu. Dari panggung Broadway, kemudian lahir aktor-aktor dengan kelas Oscar.
Dimasa Jacob Soemardjo, memegang kendali rubrik sastra "Pikiran Rakyat". Misalnya, ia juga melakukan evaluasi terhadap karya cerpen yang dimuat dalam rubrik pendamping. Setidaknya hal itu menunjukkan tanggung jawab redaktur terhadap karya yang dimuat. Tradisi ini memperlihatkan sesuatu yang demokratis, bahwa redaktur memiliki standar yang bisa dipertanggungjawabkan dan menepis otoritas subjektif.
Demikian juga dengan Borges, tidak saja menulis cerpen. Ia juga menulis kritik, baik dalam cerpennya atau kritik karya. Semua fiksi Jorge Luis Borges yang lahir dari lautan pengetahuannya juga sebuah tiruan yang sering ia akui sebagai mencoba memahami dunia dengan segala kefanaan serta kelucuannya. Tetapi tentunya saja, Borges menulis dan tertawa karena tengah mengkritik sesuatu yang ganjil diantara misteri yang hadir dalam alam manusia.
Di Indonesia, kita mengenal metode Ganzheit, misalnya sebagai kritik modern yang sempat ada di Indonesia. Arief Budiman dan Goenawan Mohamad adalah orang-orang yang paling bertanggungjawab bagaimana model kritik ini berkembang. Meskipun demikian GM sendiri skeptis terhadap eksistensi kritik. Siap, menjadi tak terhormat dan dibenci, kata GM dalam sebuah acara model kritik Ganzheit di Salihara. Di dalam tulisannya di catatan Kebudayaan Horizon III, November 1968, GM menanggapi Wiratmo Soekito secara skeptis yang menulis Kegagalan Kritik Sastra Indonesia (Harian Kami, 30 November 1968) sebagai tak membutuhkan kewibawaan kritik kecuali terus mencari nilai-nilai.
Keengganan orang yang mengkritik dan dikritik, sesungguhnya menjadi problem sendiri. Ketika orang antikritik, maka yang terjadi sebenarnya adalah absolutisme kekuasaan. Maka, ia menjadi cenderung korup, arogan, tidak tau diri bahkan "baperan" seperti kata Lord Acton. Karya yang lahir dan terpublikasi, sesungguhnya merupakan hak publik dan bukan lagi milik pencipta. Ketika karya lahir dan tak ada pandangan evaluatif terhadap karya, maka yang terjadi adalah pembiaran terhadap kekacauan selera dan persoalan hidup yang lebih luas.
Kritik sesungguhnya, tidak saja diperlukan karena memberikan informasi dan signal yang dibutuhkan masyarakat apa yang baik dan sesuai keinginannya untuk dinikmati. Kritik juga membongkar kesalahan sejarah didalam teks dan manipulasi kejadian yang berimplikasi pada kesalahan kolektif. Ia mungkin bisa menjadi kejam, tetapi ia juga memberi batas-batas yang mampu meningkatkan mutu perubahan di zamannya.
Peristiwa kritik bisa dikemas dalam berbagai model bahasa tergantung selera dan kepentingan. Tetapi jika kritik terjadi karena faktor akses muara kepentingan kelompok, tentu ini menjadi ironi dan berimplikasi ketimpangan nilai keutuhan kelompok dalam mencapai konteks perubahan bagi masyarakat.
Dengan demikian, kita akan bermasalah bukan pada kritik. Namun, lebih pada nilai-nilai kemanusiaan dan peradaban yang lebih hakiki.
Lalu bagaimana kritik melalui hak Angket?
Perihal angket, ini hanyalah cendramata tentang bagaimana kita hidup berdemokrasi. Banyak pemimpin lebih bergairah dalam bekerja setelah dilanda angket. Namun, banyak juga yang harus gugur dalam singgasana kekuasaan akibat tidak swasembada dalam mengelola perbedaan pandangan. Angket juga telah diatur dalam kitab perundang-undangan sebagai corong legislatif guna menguji kemampuan pemimpin dalam meracik kebijakan.
Angket bukan "klimaks" daripada kekuasaan. Namun ia dibutuhkan untuk membangun bagaimana sebuah daerah bernaung pada demokrasi. Disini juga dibutuhkan perkakas lobi politik dalam peta koalisi ataupun oposisi. Sambil, meneropong langkah-langkah jitu untuk melumasi keadaan politik pasca angket. Tentu yang harus segera dilakukan adalah rekonsiliasi. Minum kopi bareng misalnya, atau sekedar bersafaria dengan kue-kue lebaran yang masih penuh di dalam toples.
Dalam konteks hak angket, kritik adalah metafora nalar yang dijangkarkan pada haluan demokrasi kewargaan. Demokrasi yang bersumbu pada etos gotong royong (Soekarno), pendidikan berdaulat (Hatta), jalan kerakyatan dan kemerdekaan (Tan Malaka), dan pedoman kehidupan yang lurus (Syahrir). Demokrasi yang menjadikan bentangan perbedaan sebagai oksigen yang menyatukan nyawa kesadaran kita dalam kehidupan berbangsa.
Indra Yasin Telah Belajar
Ketika Indra Yasin kembali menjadi Bupati Gorontalo Utara (Pilbup Gorut 2018), dalam usia yang tak lagi muda, politik seakan mengorbitkan fajar optimisme kepada siapa pun bahwa hal yang selama ini dianggap mustahil menjadi kenyataan. Para politikus tua yang seharusnya gembira bermain bersama cucu-cucunya maju lagi ke muka bertempur ke gelanggang untuk menuntaskan rasa penasaran dan menyalurkan hasrat kuasanya yang tak pernah pudar.
Indra Yasin secara metamorfosis menjadi sebuah mikrofon yang menggemakan suara siasat paling purba; politik sebagai seni kemungkinan. Kemungkinan kalah dan menang atau kemungkinan keterampilan yang dimiliki dalam mengontrol arus lalu lintas politik. Indra Yasin semakin memastikan apa yang menjadi perhatian Faucalt bahwa jaringan kuasa (dan seks) menjadi titik labuh dan titik tuju fundamental yang mengendap dalam arus bawah sadar manusia yang terus bergelegak. Semua fana, yang kekal ialah nafsu berkuasa.
Politik menginjeksikan rasa penasaran abadi agar tak henti berupaya dengan mengoperasikan semua cara menggeser ketidakmungkinan menjadi kemungkinan sekaligus menawarkan mimpi bagi kawanan. Kata-katanya menjadi semacam panggilan tanggung jawab kesabaran atas suara-suara rakyat yang dijanjikan akan diperjuangkan menuju kehidupan yang beradab.
Indra Yasin telah menorehkan catatan kerja prestisius bagi pendukung setianya, dengan bersamaan menggoreskan lembaran kerja buruk bagi penantangnya. Pada gerak kehidupan, Indra Yasin sebagai salah satu Bupati dengan usia senior (1954; 67 tahun) pada perhelatan politik di Provinsi Gorontalo dalam sepuluh tahun terakhir. Generasi baby boomers yang secara terminologi sebagai generasi yang membangun era pasca perang dunia II.
Tentu bagi Indra Yasin dengan modal pengalaman tiga kali selalu memenangkan medali Pilbup Gorut, hak angket bukan sesuatu yang perlu ditakutkan. Pada periode kedua (Indra-Roni; SINAR) tahun 2013 silam, situasi politik pernah "memanas" dirasakan. Hal itu diwarnai dengan hak interpelasi oleh DPRD pada masa itu. Ruang sidang sempat tegang, namun sosok Indra Yasin tetap saja tidak meriang.
Saya coba menebak perihal kepiawaian Indra Yasin dalam mengatur ritme dinamika politik dengan menggunakan tiga diksi; tenang, tegak dan tangguh. Dimana tenang beririsan dengan tidak mudah masuk angin, lalu tegak bersinggungan soal ujian melalui badai, sedangkan tangguh berimplikasi pada pengelolaan kuda-kuda menyesuaikan lintang dan bujur kompas politik yang sedang berhembus.
Disinilah saripati strategi Indra Yasin dalam mengemas konstalasi politik yang berat menjadi lentur dan bersahabat. Meminjam pekikan Sun Tzu; "jika lawan anda mudah marah, pancinglah agar mereka kesal. Berpura-puralah lemah, agar mereka menjadi sombong".
Barangkali juga, adanya hak angket selain menguji kebijakan Indra Yasin yang berefek besar momentum ini sangat baik untuk direduksi sebagai peluang dalam merekatkan rekonsiliasi partai pengusung dan pendukung pada babak Pilbup 2018 lalu. Jika menoleh pada komposisi fraksi yang menyetujui hak angket hanya ada dua parpol yang menjadi penantang di 2018; Hanura dan Golkar sebagai lawan setia. Sisanya fraksi PDI-Perjuangan, NasDem, lalu fraksi gabungan para bintang (PPP, Gerindra, dan PKS) juga PAN merupakan sahabat karib yang berkeringat mengantarkan Indra Yasin sebagai Bupati Gorut, 2018.
Di luar gelanggang hak angket, rakyat Gorut hanya bisa mendulang beragam persepsi dan argumentasi tentang sampai dimana klimaks hak angket. Apakah sekadar permintaan pengakuan "maaf" atas kebijakan yang melanggar, atau berusaha memanasi "keringat" demokrasi menuju pertarungan 2024.
Politik selalu saja berat jika dipandang dengan menggunakan kacamata kuda, dan akan ringan kalau kita menggunakan diksi gombalan elegan; "Politik tidak memfasilitasi rindu, tapi mencampuri saat kita bertemu". Sederhananya, suasana kini masih Idul Fitri tentu momentum suci dijadikan napas merawat kembali komunikasi politik yang sempat tersendat dan dibutuhkan silaturahmi sebagai simpul merekatkan sekat.
Sekali lagi, Indra Yasin telah banyak belajar. Ia bukanlah sosok yang hanya bertepuk tangan dalam lika-liku politik Gorut. Indra Yasin adalah esensi dari politik Gorut itu sendiri.
Komentar
Posting Komentar