RAMADAN SEMAKIN HARU


Oleh : Zulkarnain Musada. Foto; (dok. Pribadi).



Puasa sudah separuh jalan, kendati tidak diyakini kandungannya dapat dicapai. Mungkin banyak yang tidak bisa kembali ke kesucian dirinya seperti yang dihakikatkan dalam idul fitri. Kezaliman diri, kedengkian, ketidakikhlasan, serta nafsu yang membara menyebabkan amalan puasa ibarat air di daun talas.


Tidak dapat dimungkiri bila kebutuhan seperti di atas terlampau menonjol karena dipaksakan lingkungannya. Hal demikian berarti hedonisme sudah menyelimuti sejumlah orang untuk dinikmati tanpa mempertimbangkan kemampuan dirinya. Tidak heran untuk tampil nyaman banyak cara dilakukan sampai sejumlah nilai dilanggarnya. Untuk menelisiknya, Danjaya (1986) menyarankan untuk melihat perilakunya bukan apa yang disabdakannya.


Mopo Tumulo
Bila kedua pandangan di atas dijadikan rujukan, godaan di bulan puasa semakin besar agar kebutuhan lebaran dapat dipenuhi. Dengan kecukupan materi yang dirasakan, lebaran dengan problematika mudiknya terasa ringan. Sejumlah orang merasa hal seperti itu menjadi ukuran untuk melakukan mudik. Jika desa menjadi tujuannya, posisi wilayah tersebut bukan lagi pusat keunggulan. Desa hanya menjadi wilayah untuk kegiatan ritus tahunan di hari raya agar bisa berkumpul dengan sanak keluarga dan handai taulan. Banyak yang sekedar memamerkan kelebihannya atau kesuksesannya.


Pameran di atas bisa merangsang warga lokal untuk turut mencicipi kehidupan di perkotaan. Oleh karena itu, antrean urbanisasi pasca lebaran menjadi lebih banyak. Hal demikian berarti bahwa desa bukan lagi tempat yang bisa dijadikan wahana mencari nafkah yang layak. Bisa jadi pemerintah berdosa karena membiarkan alih fungsi lahan marak di lahan subur desa yang sebagian di antaranya menjadi makelarnya. Dampaknya, desa kehilangan energi produktifnya untuk bisa membangun dari pinggiran.


Desa menjadi hambar di tengah hiruk pikuk kehidupan kota yang sempit, padat dan berdesakkan. Desa menjadi tempat tinggal yang bergelimang dengan keluh kesah dan tidak menjadi arena "Mopo Tumulo". Tumbuhnya penebangan hutan demi area perkebunan, ekspoitasi sumber daya alam pesisir secara sembunyi-sembunyi, bahkan pergeseran hamparan sawah berubah menjadi perumahan justru tidak membuat desa bertahan nilai luhurnya. Keguyuban memudar karena gesekan antarkultur yang dianut penduduknya. 


Aura pendidikan pun menjadi lemah sebab guru tidak berdaya mendidik anak akibat takut dipenjara lantaran menghukum murid yang tidak disiplin. Tidak heran bila pemudaran nilai terus mengalir dan desakan kebutuhan terus menggunung. Semuanya berdampak kerusakan tatanan yang telah dibangun leluhur sehingga memudahkan infiltrasi nilai tandingan yang merontokkan nilai yang sudah ada.


Molamingo
Bisa jadi potret di atas sebagai akibat pembiaran terhadap perubahan yang berkembang. Bila saja komersialisasi sumber daya alam desa ditindak tegas, maka pelaku harus dibuat jerah. Demikianlah ketika lahan subur dialihfungsikan atau irigasi dibiarkan rusak tanpa sanksi kepada pihak terkait, mungkin saja hal tersebut sudah dianggap biasa. Tidak heran bila Borstein (1992) berpandangan sama sehingga perubahan perilaku mesti dikawal sejak dini agar tidak menyimpang jauh sehingga sulit diluruskan kembali.


Bila sudah demikian, menjadi wajar kalau sembilan bahan pokok semakin mahal karena lumbungnya semakin langkah dan penerusnya tidak antusias lagi.


Pembiaran pun berkembang dalam hubungan sosial. Buah Kadondong pun terus mengalir karena orang disilaukan oleh kepemilikan materi pengecohnya. Mungkin saja hal seperti itu ciri dari masyarakat prismaticnya Riggs (1985). Bisa jadi kota di anggap modern dan desa tradisional yang bertumpu pada sektor pertanian dan perikanan. Dengan mudah orang mengubah pekerjaan ke sektor industri di perkotaan agar tidak dianggap tradisional dan cepat kaya. Dengan SDM yang terbatas, yang kaya bisa lebih dihormati ketimbang berilmu tetapi miskin. 


Tidak heran koruptor pun dihargai karena kekayaannya, kebijakan menjadi komersial, dan mengemis pun ditempuh dengan beraneka rekayasa asal menjanjikan banyak uang.


Mestinya puasa menjadi media mawas diri agar kembali suci di hari yang fitri. Pejabat merenung dalam menjalankan tugas atas sumpahnya. Bisa jadi visi, misi, dan programnya tidak berjalan atau sekedar jalan ditempat bahkan mundur dipersimpangan jalan.


Para tokoh dan partai politik mahasabah atas aktivitasnya, demikian halnya masyarakat untuk kemudian menata ulang bila banyak kekeliruan dilakukan. Penyadaran diri atas seluruh perilaku keliru agar diluruskan bisa mendongkrak esensi ramadan semakin bermakna. Manusia akan bertekad memperbaiki hubungannya dengan sesama dan memperlakukan alam dengan bijaksana.


Perubahan tekad dan perilaku ke arah yang baik bisa menunjukkan keberhasilan berpuasa dan berpotensi kembali fitri di hari kemenangan. Konsolidasi umat untuk mengencangkan simpul silaturahmi melalui rasa toleransi, simpati dan saling kasih harus terus dipraktikkan agar puasa dan ibadah lainnya tidak sebatas ritus rutin semata. 


Bila tidak, manfaat fitrinya semakin menjauh dari kehidupan umatnya. Semoga separuh jalan ramadan senantiasa menyejukkan diri dan rasa "kekitaan" sebagai keluarga dalam kemanusiaan.

Komentar

Postingan Populer