Puasa, titisan keberagaman kita
Tentu saja puasa tidak hanya mengajarkan keterampilan menahan lapar dan dahaga sepanjang siang. Imperatif moralitasnya melampaui itu. Puasa sejatinya menginjeksikan kesadaran sublim perasaan empatik dan kelembutan jiwa.
Puasa di tahun 2021 tinggal menghitung hari, kita akan merayakan bulan suci Ramadan yang kedua kali dalam suasana Covid-19. Puasa menyegarkan ingatan tentang pentingnya mengembalikan agama kepada khitahnya; menebar kasih sayang. Puasa sebagai akar religiositas dimana fungsi profetik rahmatan lil alamin (berkah bagi seluruh manusia) diharapkan mekar untuk kebaikan bersama.
Dengan berpuasa diharapkan kohesivitas sosial tumbuh. Solidaritas dan gotong royong menemukan lagi jangkar imannya yang kokoh.
Tema ini relevan kita aktifkan justru ditengah situasi kebangsaan yang akhir-akhir ini dikotori kaum teroris yang mengatasnamakan agama, tetapi perilakunya berbanding terbalik dengan ajaran suci agama. Kejadian bom bunuh diri didepan Gereja Katedral Makassar dan insiden di halaman Mabes Polri, juga penangkapan kelompok teroris di beberapa wilayah dalam waktu yang sangat cepat memberikan alarm, teroris bukan isapan belaka tetapi sudah berada di depan pintu halaman rumah kita, di pelataran terdepan bangsa.
Terorisme bukan drama, apalagi rekayasa, akan tetapi nyata dan setiap saat siap meledakkan dengan cara "ideologisnya" didepan siapa pun yang dianggap kafir dan orang atau kelompok bahkan lembaga negara yang menghalangi fantasi primitif politik arkaiknya. Tragisnya, pemicunya tidak hanya dilakukan laki-laki dewasa, tetapi melibatkan sepasang suami istri dan anak muda yang masih berumur "generasi milenial".
Agama Waham
Agama yang otentik tidak pernah mengajarkan kekerasan, baik fisik maupun simbolik. Kepalsuan dan kesahihan sebuah keyakinan bisa dirujuk dari indikator utamanya apakah keyakinan itu menggemakan risalah ketentraman, damai kasih, perkawanan, atau malah kebalikannya. Sudah cukup dikatakan agama itu palsu ketika yang ditanamkan pada jemaahnya adalah kebencian dan seruan pembunuhan terhadap yang tidak sehaluan. Yang terakhir ini sesungguhnya bukan agama, melainkan delusi atau waham; agama seolah-olah. Inilah yang dikritik keras Richard Dawkins dalam The God Delusion bahwa waham itu gejala penyakit yang diderita secara personal, tetapi apabila menimpa banyak orang, dinamakan "agama".
Terorisme hampir dapat dipastikan selalu bermula dari puritanisme. Berawal dari penafsiran agama bipolar, hitam putih, dan pendakuan membabi buta atas paham yang dianutnya. Mereka menautkan teologinya pada teks-teks keagamaan atau fikih abad pertengahan yang dimaknai secara serampangan. Sisa terbesarnya; obsesi merebut kekuasaan politik bukan untuk tujuan sakral membangun kerajaan Ilahiah dimuka bumi, melainkan memburu tahta dan motif profan kebendaan.
Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS/ISIS) adalah sampel paling telanjang bagaimana agama dibajak agar tunduk pada hasrat degil kekuasaan, pada trayek politik duniawi semata. Bahkan, kalau perlu mereka bikin fikihnya juga. Tujuannya tak lain agar orang yang bergabung di dalamnya merasa nyaman karena ada legitimasi keagamaannya. Fikih dima (fikih darah) seperti ditulis ideolog NIIS. Abu Abdullah al-Muhajir, adalah referensi para teroris dalam menjalankan aksi-aksi biadabnya. Ideologi di balik fikih dima adalah memilih hidup atau berjuang sampai mati daripada menyerah kepada musuh.
Seperti diteliti AE Priyono (2018), kitab setebal 579 itu dibagi dalam beberapa bab dengan judul yang mengerikan. Seperti Pemenggalan Kepala, Perbincangan Tubuh, Penculikan atas Para Kafir, atau bagaimana Membunuh Mata-mata. Termasuk di dalamnya cara genosida, penggunaan senjata pemusnah massal, pembunuhan atas penduduk (sipil) nonkombatan, perbudakan seks atau perbudakan sandera.
Untuk mencegah semakin menjamurnya terorisme, tentu saja bukan hanya menggelorakan roh ritus puasa, tetapi juga mengandaikan peta jalan strategis yang semestinya menjadi agenda seluruh komponen bangsa. Hal itu meliputi, pertama; masyarakat, negara, ormas keagamaan tak boleh kendur mempromosikan tafsir keagamaan inklusif, terbuka, sistematis dan berkelanjutan. Sekaligus kerja sama partisipatif antarsemua golongan untuk memastikan bahwa kebhinekaan tetap terjamin. Kebhinekaan bukan sekedar dikhotbahkan, tetapi menjadi laku. Secara ontologis orang lain bukan musuh yang boleh ada harus lenyap, tetapi belahan tak terpisahkan dari roh kita. Kehadiran kita secara eksistensial ditentukan liyan.
Kedua; negara jangan sampai kalah oleh gerakan yang mengancam keutuhan bangsa. Negara harus selalu hadir melalui kebijakan dan sistem regulasinya (UU dan Perppu) yang padu. Bahwa setiap warga negara dijamin keamanan, kelayakan dan kehormatan hidupnya (dignitas). "Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia". Sebagai bentuk kepercayaan terhadap negara, semua penyelesaian persoalan kita percayakan kepada yang berwenang. Tidak main hakim sendiri. Hukum berbanding lurus dengan keadilan dan kebenaran. Tidak tebang pilih dan apalagi sampai dinegosiasikan dengan kepentingan pragmatisme politik.
Ketiga; Pancasila sebagai ideologi negara sudah saatnya menjadi napas kehidupan segenap bangsa. Pancasila sebagai titik temu anak bangsa, payung besar tempat seluruh rakyat berteduh. Menurut Yudi Latif, mesti ada gerakan kebudayaan pengarusutamaan Pancasila menjadi lima jalur; (a) jalur pemahaman yang kemudian akan melahirkan Indonesia memiliki kecerdasan kewargaan, (b) jalur inklusi sosial akan melahirkan Indonesia rukun, (c) jalur keadilan sosial akan melahirkan Indonesia berbagi kemakmuran, (d) jalur kelembagaan akan melahirkan Indonesia tertata, dan (e) jalur keteladanan akan melahirkan Indonesia yang mulia.
Keempat; optimisme hadirnya keindonesiaan yang berkeadaban. Tidak bosan bermimpi ihwal kemajuan. Optimisme yang tentu saja harus diiringi langkah-langkah strategis pemerintah dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara, baik dalam sektor ekonomi, sosial, pendidikan, maupun kebudayaan.
Preseden Kenabian
Memasuki bulan puasa, memori kolektif seperti ditarik pada masa kenabian. Tentang sosok Muhammad SAW yang telah mengalirkan mata air keteladanan yang utuh dalam segala hal. Wajar kalau penyair Pakistan, Muhammad Iqbal, bilang, "Bagimu cukup al-Mustafa". Baginda Nabi ini yang seharusnya menjadi contoh, bukan al-Bagdhadi atau siapa pun yang sering kali menyampaikan ceramah provokatif dengan akurasi anti keragaman.
Nabi Muhammad yang menebarkan kasih bukan hanya kepada anak, istri, para sahabat, bahkan kepada mereka berlainan keyakinan, malah juga alam dan binatang. Suatu hari pernah datanglah serombongan orang memanggul keranda ketika nabi sedang duduk bersama para sahabatnya. Nabi kemudian berdiri dan memberikan penghormatan penuh. Seorang sahabat mengingatkan bahwa jenazah itu seorang Yahudi. Kata Nabi, "Yahudi juga sama, manusia".
Di lain kesempatan, Nabi bertanya tentang seorang Yahudi yang tidak lagi melemparinya ketika hendak bersembahyang. Seorang sahabat memberi jawaban bahwa Yahudi tersebut tengah terbaring sakit. Sang Nabi alih-alih bergembira, justru bersedih hati. Kemudian membesuknya dan menyuapinya. Perilaku ini sampailah kepada kawan setianya. Besok hari kawannya ini melakukan hal yang sama. Menengok dan tak ketinggalan membawa makanan dan juga menyuapinya. Ternyata Yahudi yang terbaring lemas bisa membedakan mana suapan kasih sayang dan mana yang diiringi keterpaksaan.
Selamat datang Ramadan. Kita jadikan bulan suci ini untuk merefleksikan persoalan keagamaan dan kebangsaan. Tampaknya kedepan, apalagi memasuki musim pemilu 2024 akan semakin rumit dan panas. Tetaplah beragama dan berbangsa secara waras. Berdaulat pada akal sehat.
Komentar
Posting Komentar