MUDIK bikin PANIK

Oleh : Zulkarnain Musada. Foto; (dok. Pribadi).



Salah satu masalah yang cukup sulit ditekan oleh pemerintah dalam masa Pandemi Covid-19 sekarang yaitu perihal pemudik. Kebijakan pelarangan mudik yang tertuang dalam Surat Edaran Kepala Satgas Penanganan Covid-19 No. 13 Tahun 2021 tentang Peniadaan Mudik pada Bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri tahun 1442 Hijriah selama 6-17 Mei 2021. Melalui SE ini, pemerintah tegas melarang masyarakat melakukan kegiatan mudik lebaran tahun ini demi mencegah penularan Covid-19.

Tak ayal adendum itu diikuti oleh Provinsi Gorontalo sesuai kesimpulan hasil rapat Forkopimda pada Kamis, 22 April 2021 akan melakukan tindakan pelarangan mudik. Khususnya, Senin, 26 April 2021 mulai melakukan sosialisasi larangan mudik di pintu-pintu masuk perbatasan Provinsi Gorontalo. Titik tersebut meliputi; perbatasan dengan Sulawesi Utara dari Kec. Atinggola (Kab. Gorontalo Utara) dengan Kec. Pinogaluman (Kab. Bolaangmongondow Utara). Hingga perbatasan Kec. Bone (Kab. Bone Bolango) dengan Kec. Posigadan (Kab. Bolaangmongondow Selatan). 

Begitu pula perbatasan dengan Sulawesi Tengah, yaitu; Kec. Tolinggula (Kab. Gorontalo Utara) dengan Kec. Palele (Kab. Buol) dan Kec. Popayato Barat (Kab. Pohuwato) dengan Kec. Moutong (Kab. Parimo, Sulteng).

Jika kita menyimak data Dinas Kesehatan Prov. Gorontalo update terakhir 23 April 2021 (16.00 WITA). Angka Covid-19 di Prov. Gorontalo, total 5341 jiwa dengan akumulasi; 82 jiwa (dirawat), 5095 jiwa (sembuh), dan 164 jiwa (meninggal). 

Lantas, bagaimana respon masyarakat terhadap kebijakan pelarangan mudik tahun 2021. Tentu banyak gonjang-ganjing soal kebijakan ini. Mulai dari pertimbangan budaya, ekonomi, pariwisata dan beragam spekulasi lainnya. Ada banyak variabel yang bisa menjelaskannya. Yang paling menonjol, soal esensi mudik itu sendiri.

Kata mudik atau pulang kampung halaman bisa jadi sudah ada berabad-abad lamanya. Kebiasaan ini ditemukan di banyak negara lain di dunia. Akan tetapi, fenomena mudik dalam skala besar dan bersifat kolosal dalam satu momen, agaknya hanya terjadi di Indonesia.

Fenomena ini sebenarnya baru terjadi setelah kemerdekaan, atau tepatnya pada masa Orde Baru. Patut diduga, munculnya fenomena ini disebabkan oleh model pembangunan yang dilakukan oleh Orde Baru yang bersifat terpusat di jantung kota-kota metropolitan. Hingga orang-orang dari ragam etnis dan agama lebih memilih meninggalkan kampung halamannya dan mengadu nasib di kota metropolitan. Dengan demikian, mudik yang mulanya merupakan sebuah tradisi kaum perantauan, berkembang menjadi tradisi kaum urban.

Kehidupan kaum urban adalah kehidupan yang mekanis; mengikuti ritme industrialisasi yang sistematis, teratur, terjadwal, dan terstruktur. Demikian juga dengan waktu libur. Ketika bertemu momen libur yang cukup lama, mereka memutuskan pulang sebentar ke kampung halaman (mudik).


Primordial
Sebagaimana layaknya kaum urban di banyak wilayah di dunia, mereka tidak pernah benar-benar mengalami integrasi yang utuh dengan bumi yang dipijaknya. Ikatan dengan kota-kota tempat mereka bekerja hanya bersifat ekonomi.

Sementara itu, kecintaan primordialnya, tetap melekat kuat dengan daerah asal, atau tanah lahirnya. Itulah sebabnya, ketika kegiatan ekonomi terhenti di sebuah kota, mereka tiba-tiba seperti kehilangan eksistensi. Seperti panggilan alam, mereka akan kembali ke tempat asalnya, guna menemukan diri mereka yang hakiki, apapun resikonya.

Andre Moller, jebolan Universitas Lund Swedia, dalam catatannya mengatakan, "Setiap tahun, koran, radio, televisi dan media massa lainnya dipenuhi berita tentang susahnya, mahalnya, hingga bahayanya mudik. Namun, setiap tahun juga orang-orang berbondong-bondong hendak pulang ke kampung halaman".

Sebagaimana dikatakan oleh Andre, mudik bukan tanpa konsekuensi. Terhitung sejak beberapa dekade lalu, korban meninggal dunia ketika mudik terus ada. Penyebabnya bisa beragam, mulai dari kecelakaan, sakit dalam perjalanan hingga disebabkan aksi kejahatan.

Selama bertahun-tahun para sosiolog dan aktivis sosial melakukan protes dan berupaya mencari solusi atas kondisi ini. Pemerintah, dari satu kepemimpinan ke kepemimpinan yang lain selalu menilai, mudik dan problematika didalamnya tidak lain sebatas masalah transportasi, infrastruktur, keamanan dan sistem lalu lintas. 

Sayangnya, cukup jarang disadari, fenomena mudik sebenarnya efek samping dari kesalahan kebijakan makro pembangunan. Di dalamnya tersaji sejumlah masalah yang lebih besar, yaitu politik, ekonomi, sosial dan budaya.


Manifesto Panik
Alfred Schutz, ilmuwan Jerman yang berhasil menggabungkan perspektif fenomenologi dengan sosiologi empiris menilai, fenomena yang tampak adalah refleksi dari realitas yang tidak dapat berdiri sendiri, karena ia memiliki makna yang memerlukan penafsiran lebih lanjut.

Dengan demikian, fenomena mudik dan segenap kompleksitas permasalahan yang ada didalamnya, perlu dipandang lebih jauh dari sekedar fenomena sosial dan budaya. 

Merujuk pada Alfred, fenomena mudik adalah refleksi dari kompleksitas permasalahan real yang dihadapi bangsa ini. Yaitu ketimpangan ekonomi antara pusat-daerah juga desa-kota akibat skema pembangunan yang tidak merata. Atau dengan kata lain, fenomena mudik tidak lain merupakan manifestasi rasa panik yang paling kolosal, masif, dan alamiah atas sejumlah masalah sosial, budaya dan ekonomi yang dihadapi selama ini. 

Fenomena ini sejatinya adalah masalah yang memeram sejumlah kerusakan sistem dan tata kelola ruang kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Terlepas dari upaya keras pemerintah dan pemimpin dalam menekan penyebaran Covid-19, fenomena mudik perlu menjadi catatan tersendiri atas road map kebijakan pembangunan yang sementara dijalankan.

Kedepan, fenomena ini tidak lagi dianggap sekedar tradisi atau kebudayaan sosial masyarakat. Apalagi sampai membanggakannya. Sebab, bila kita balik secara deduktif, hilangnya fenomena mudik adalah indikator pasti suksesnya pembangunan pusat-daerah serta desa-kota. Dengan surplus terjadinya pemerataan ekonomi dan terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat perantauan.

Komentar

Postingan Populer