MITIGASI BALIHO
Kemunculan baliho politis semakin marak. Bukan hanya para politisi yang akan berebut kursi, tetapi juga kepala daerah, dan aparatur lainnya turut nampang di baliho. Tidak terkecuali berita media online yang berisi bongkar pasang calon kandidat sampai foto politisi yang menghiasi wajah berita.
Banyak perempatan jalan, dan tempat lain yang strategis, disesaki baliho politis yang berebut tempat dengan baliho/spanduk penerimaan siswa juga mahasiswa baru dan iklan komersial. Kemunculannya makin menyesakkan ruang publik. Bukan hanya merusak keindahan tempat sekitar, tetapi juga menutup "garis langit" sehingga menambah kesan bekeng ba rumpu, tamba-tamba urusan dan bekeng rusak pemandangan.
Funco Tanipu pada artikel facebooknya dalam Yasaf Amir Piliang, 2008; politik dianggap sebagai arena untuk kegiatan yang bersifat transaksional, yang menggunakan model-model strategi dan psikologi massa budaya populer, dalam rangka menjadi popularitas, memobilisir massa, memenangkan pemilihan, mendapatkan pengikut, meningkatkan rating atau mencari keuntungan.
Berebut nampang di baliho seakan menjadi keharusan bagi mereka yang punya hasrat bertarung berebut jabatan publik. Bahkan, mereka yang sudah jadi pejabat semakin bersemangat muncul di baliho, padahal mereka tidak kekurangan media untuk memperlihatkan diri kepada rakyatnya.
Meminjam argumen Funco Tanipu bahwa tak heran kita dapati iklan politik di ruas jalan kita. Gorontalo tak ubahnya seperti Balihopolitan (Kota Baliho). Dimana politik semata-mata ditujukan untuk merayakan hasrat yang tak terbatas (desire/napsu).
Sering tidaknya seseorang muncul di baliho akan memengaruhi popularitasnya, tetapi tidak ada jaminan mereka yang populer akan terpilih. Mengapa? Berbagai riset dan kajian komunikasi politik menegaskan popularitas tidak identik dengan elektabilitas, meski yang pertama menjadi salah satu syarat bagi yang kedua. Fakta ini mengandung implikasi berikut.
Pertama, popularitas tidak menunjukkan preferensi apa pun. Artinya, orang yang populer tidak selalu disenangi dan terterima. Dalam cerita, Betty Lapeya sangat populer. Dalam telenovela pun tokoh antagonis tidak kalah populer. Sulit menemukan penggemar yang mengidolakan tokoh yang populer karena tindakannya yang tak lazim dan menyimpang. Jadi populer saja tidak cukup.
Kedua, publik bisa saja memahami baliho dari sisi yang tidak dikehendaki pemasangannya. Ketika Anda melihat baliho kepala daerah tengah tersenyum berderet di tepian jalan yang rusak dan Anda terjebak dalam kemacetan banjir yang parah akibat laju kendaraan terhambat, apakah Anda merasa bangga menjadi rakyatnya? Dan tergugah untuk mengusungnya kembali? Alih-alih menggugah dan memotivasi, banyak baliho, pamflet, dan spanduk hanya mempertontonkan gairah berkuasa pemasangnya yang menyala-nyala.
Ketiga, kemunculan di baliho tak ubahnya tampilan seseorang dalam iklan. Meski telah dipertimbangkan segmentasinya, ia tidak menyasar alamat dan sasaran yang pasti. Kemunculannya tidak secara spesifik merayu orang atau keluarga tertentu.
Berbeda dengan aktivitas bertemu dengan konstituen, baik langsung maupun lewat jaringan sukarelawan yang terlatih, teruji dan berkomitmen. Kedua hal ini dimanfaatkan secara apik oleh Joko Widodo saat berada di Pilkada Solo dan Pilgub DKI Jakarta. Meski tidak banyak memasang baliho (tidak seperti ketua parpol), dukungan terhadap Jokowi terbina melalui "blusukan" dan sokongan tim kreatif yang piawai membuat Jokowi terasa dekat dan terterima.
Mitigasi Baliho
Para politisi harus jeli melihat peluang lain untuk "bertaaruf" (berkenalan) selain nampang di baliho. Dampaknya elektoralnya meragukan, tetapi kesan bernafsu dan membosankan sudah pasti. Olehnya itu, menghindarinya sangat arif.
Daya persuasi terpaan iklan (apapun media dan modusnya) bertumpuh pada daya gugah pengalaman sang aktor sebelum ia terjun pada jabatan yang diinginkannya. Pengalaman keterlibatan dalam menangani urusan publik menjadi stok modal politik dalam menentukan karier politik seseorang. Dengan begitu, alih-alih meniru gaya beriklan atau gaya berpose di baliho, akan lebih berguna bila seseorang "menjual" pengalaman dan "heroismenya" dalam berjuang membela kepentingan publik.
Prinsip ini menegaskan kekuatan kampanye menyembul dari dalam (inside-out), bukan semata-mata citra yang disuntik dari luar. Beragam citra dari luar, akan terpental dan jadi pemandangan yang menggelikan bila tidak menemukan rujukannya dalam keseharian sang aktor. Seperti filosofi "mercusuar"; yang terang diluar, namun gelap dari dalam.
Nampang di baliho atau tidak, pejabat publik senantiasa menjadi perhatian. Kemana pun mereka pergi dan apapun yang mereka lakukan, akan diikuti mata publik dan kamera. Melakukan kegiatan yang bermakna bagi publik akan memiliki daya letup yang hebat dan akan tercatat sebagai tabungan elektoral yang menguntungkan ketimbang rame di baliho, mar sunyi pa masyarakat.
Meski panggung politik daerah semakin atraktif dan eksibisionis, rakyat tetap menghendaki kemunculan pemimpin yang memiliki kemampuan, rendah hati, dan tidak bernapsu memburu kekuasaan. Berhitunglah ketika akan nampang di baliho, sebab bisa jadi ia hanya akan menjadi media yang memamerkan napsu berkuasa Anda, namun tidak memberi tahu mengapa publik harus percaya Anda.
Komentar
Posting Komentar