PRAM, BUKU yang TAK BEKU

Pramoedya Ananta Toer (Pram). Foto: (Sumber, Google).


Kehidupan ini seimbang, Tuan. Barangsiapa hanya memandang pada keceriaan saja, dia orang gila. Barangsiapa memandang pada penderitanya saja, dia sakit. Anak Semua Bangsa (1981), hlm. 199.


Nama aslinya bukanlah Pramoedya Ananta Toer, melainkan Pramoedya Ananta Mastoer. Nama Pramoedya sendiri berasal dari suku kata slogan revolusioner "yang pertama di medan perang". Ia lahir sebagai sulung dari sembilan bersaudara di Blora, 6 Februari 1925. Kedua orang tuanya, Mastoer Imam Badjoeri dan Saidah, masing-masing bekerja sebagai guru di sebuah sekolah swasta dan pedagang di daerah Rembang.

Ia bersekolah di Sekolah Institut Boedi Utomo Blora di bawah bimbingan ayahnya yang mengajar di sana. Tapi ia sempat tiga kali tidak naik kelas. Tamat dari Boedi Utomo, ayahnya menolak untuk menyekolahkannya ke MULO (setingkat SMP) sehingga ia memilih bersekolah di Sekolah Teknik Radio Surabaya selama satu setengah tahun dari tahun 1940 hingga 1941. Di samping bersekolah, ia membantu ibunya berdagang beras.

Usianya yang masih 17 tahun ketika Perang Dunia II pecah. Pram berangkat ke Jakarta dan bekerja sebagai juru ketik di Domei, kantor berita Jepang saat masa pendudukan Jepang di Indonesia. Ia sempat menyambut Jepang sebagai pembebas dari jajahan Belanda. Namun pandangan itu berubah tatkala ia melihat banyak orang Indonesia yang diharuskan romusha (kerja paksa di era jajahan Jepang).

Sembari bekerja, Pram mengikuti pendidikan di Taman Siswa milik Ki Hajar Dewantara sejak 1942-1943. Kemudian ia mengikuti kursus Stenografi selama setahun dan melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi Islam Jakarta di tahun 1945.

Rumah semasa kecil Pram di Blora. Foto: (Sumber, Google).


Ketika Indonesia memasuki era pasca kemerdekaan, ia mengikuti pelatihan militer Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan bergabung dengan Resimen 6 dengan pangkat Letnan dua, yang ditugaskan di Cikampek dan kembali ke Jakarta pada tahun 1947.

Ia kemudian ditangkap oleh Belanda pada 22 Juli 1947 dengan tuduhan menyimpan dokumen pemberontakan melawan Belanda yang kembali ke Indonesia untuk berkuasa. Lalu Pram dijatuhi hukuman penjara, dan dipenjara di Pulau Edam. Ia dipindahkan ke penjara di Bukit Duri hingga tahun 1949. Selama di penjara, Pram banyak menghabiskan waktunya dengan menulis buku dan cerpen.

Di bui, penjaga penjara memberinya salinan novel John Steinbeck berjudul "Of Mice and Men" yang digunakan Pram belajar bahasa Inggris. Ia menghabiskan waktu dengan menulis untuk membunuh keputusasaannya terpenjara dari dunia luar. Novel pertamanya Perburuan (1950) berhasil diselesaikannya.

Pram menerbitkan novel Keluarga Gerilja (1950) yang mengisahkan konsekuensi tragis dari simpati politik yang terpecah dalam keluarga Jawa selama masa revolusi Indonesia melawan Belanda. Kemudian, Mereka yang Dilumpuhkan (1951) menggambarkan tahanan-tahanan aneh yang ditemuinya di kamp penjara Belanda. Cerita pendeknya dikumpulkan dalam Pertjikan Revolusi dan Subuh (1950).

Setelah masa tahanannya habis, Pram bekerja sebagai redaktur di Balai Pustaka Jakata di tahun 1950-1951. Ia sempat tinggal di Belanda sebagai bagian dari program pertukaran budaya dan ke Beijing untuk menghadiri hari kematian Lu Sung. Sekembalinya ke Tanah Air, ia menjadi anggota Lekra (Lembaga Kesenian Rakyat) salah satu organisasi kebudayaan berhaluan kiri.

Pram saat dewasa. Foto: (Sumber, Google).


Gaya penulisannya pun berubah di masa itu, seperti yang terlihat dalam Korupsi, karya fiksi kritik pada pamong praja yang jatuh di atas perangkap korupsi yang menciptakan friksi antara Pram dan pemerintahan Soekarno.

Tulisan-tulisan Pram banyak menggambarkan keadaan di daerah pada saat itu seperti Tjerita dari Blora (1952) yang menggambarkan provinsi Jawa saat pemerintahan Belanda dan Tjerita dari Djakarta yang menceritakan ketidakadilan yang dirasakan setelah Indonesia merdeka.

Dalam karya-karya awalnya, Pram mengembangkan gaya prosa yang kaya dan menggabungkan bahasa Jawa sehari-hari dengan gambaran dari budaya Jawa klasik. Riset mendalam untuk setiap tulisannya pun sudah menjadi ciri khas puluhan karya sastra Pram.

Pram mulai mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan orang-orang Tionghoa di Indonesia yang banyak disiksa. Pada saat yang sama, ia mulai berhubungan erat dengan para penulis di Tiongkok. Khususnya ia menerbitkan rangkaian surat-menyurat dengan penulis Tionghoa yang membicarakan sejarah Tionghoa di Indonesia yang berjudul Hoakiau di Indonesia.

Keluarga Pram. Ketika potret ini dibuat, Pram telah diasingkan di Pulau Buru. (Dok, Pribadi Pram).


Selain terkenal dengan tulisannya, ia adalah kritikus yang kental dengan penolakan terhadap pemerintahan yang Jawa-sentris pada keperluan dan keinginan dari daerah lain di Indonesia, serta mengusulkan bahwa pemerintahan mesti dipindah ke luar Jawa. Tahun 1960-an, ia ditahan pemerintahan Soeharto karena pandangannya dianggap pro komunis Tiongkok.

Peristiwa G 30 S PKI membuat apapun yang berafiliasi dengan golongan kiri disapu bersih oleh pemerintah Orde Baru, termasuk di antaranya adalah Pram. Ia sempat dipenjara di Rumah Tahanan Militer Tangerang selama empat tahun. Bukunya dilarang beredar dan ditahan tanpa pengadilan di Nusakambangan, kemudian pindah di Pulau Buru di kawasan Timur Indonesia selama sepuluh tahun.

Momen Pram pulang ke rumah setelah 14 tahun pengasingan Tapol (tahanan politik) di Pulau Buru. (Dok, Pribadi Pram).


Selama satu dekade terpisah, surat menyurat sudah menjadi kebiasaan Pram dan keluarga kecilnya untuk bertukar kabar. Sayangnya, mereka sendiri harus mati-matian bersabar untuk bisa menerima balasan dari sang ayah. Mengirim surat dari Jakarta ke Pulau Buru sendiri membutuhkan waktu satu tahun. Lain halnya jika ada pejabat yang akan ke Pulau Buru, baru bisa dititipkan. Itu pun butuh waktu berbulan-bulan menanti momen pejabat yang kebetulan akan berkunjung ke sana.

Di Pulau Buru, jari-jemari Pram tidak berhenti berkarya meski dilarang. Ia menyusun Ensiklopedia Citrawi Indonesia yang digarap sejak 1958 dan terus berlanjut setelah dibebaskan dari Pulau Buru. Tapi sebagian sudah dirampas oleh pemerintah dan hanya tinggal sebagian berupa penggalan-penggalan yang sempat dipamerkan di pameran "Namaku Pram" pada 2018 silam.

Selain itu ia menulis Tetralogi Pulau Buru yang jilid pertamanya adalah Bumi Manusia. Empat seri novel semi fiksi sejarah ini mengisahkan perkembangan nasionalisme Indonsia dan sebagian berasal dari pengalamannya sendiri. Tokoh utamanya, Minke, bercermin pada pengalaman RM Tirto Adhi Soerjo (TAS) yang dikenal sebagai pendiri Sarekat Prijaji dan Medan Prijaji sebagai media resmi untuk sarana advokasi. Naskah-naskahnya diselundupkan lewat tamu-tamu yang berkunjung ke Buru.

Pram baru dibebaskan pada 21 Desember 1979 namun masih dikenakan tahanan rumah di Jakarta hingga 1992, serta tahanan kota dan tahanan negara hingga 1999, serta wajib lapor seminggu sekali ke Kodim Jakarta Timur selama kurang lebih dua tahun.

Selama masa itu, ia merampungkan Gadis Pantai yang ditulis berdasarkan pengalaman neneknya sendiri, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995) autobiografi berdasarkan tulisan yang ditulis untuk putrinya yang tidak diizinkan untuk dikirimkan, dan Arus Balik (1995). Nyanyi Sunyi Seorang Bisu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Mute’s Soliloqury: A Memoir.

Pram di ruang kerjanya, menghabiskan waktu menulis dan merokok adalah hobinya. Foto: (Sumber, Google).


Ketika menjadi tahanan kota, Pram mendapat Ramon Magsaysay Award di tahun 1995. Penghargaan ini menuai protes dari 26 tokoh sastra Indonesia karena mereka menuding Pram sebagai jubir sekaligus algojo Lekra paling galak, menghantam, menggasak, membantai, dan mengganyang pada masa Demokrasi Terpimpin, tidak pantas diberikan penghargaan tersebut.

Tokoh yang menandatangani petisi ini merasa sebagai korban dari keadaan pra-1965. Mereka menuntut tanggung jawab Pram untuk mengakui dan meminta maaf atas peran tidak terpuji pada masa paling kelam bagi kreativitas pada zaman Demokrasi Terpimpin.

Sementara Pram sendiri menilai tulisan dan pidatonya di era pra-1965 tidak lebih dari "golongan polemik biasa" yang boleh diikuti siapa saja. Dia menyarankan agar perkaranya dibawa ke pengadilan jika materinya cukup. Jika materi tidak cukup, bawa ke forum terbuka dengan ketentuan ia boleh menjawab dan membela diri.

Menurut pelukis Joko Pekik yang sama-sama pernah jadi tahanan di Pulau Buru, Pram sendiri selama di bui bekerja sebagai tukang ketik petugas Pulau Buru. Nasibnya juga lebih baik daripada tahanan pada umumnya karena statusnya sebagai tokoh seniman yang disebar luaskan secara internasional oleh media. Karena reputasinya di internasional sangat dihargai, ia sering kali menjadi "bintang" kala ada tamu dari luar negeri yang berkunjung.

Banyak kolom dan artikel pendek yang ditulis Pram mengkritik pemerintahan Indonesia. Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer yang ditulis dalam gaya menyedihkan wanita Jawa yang dipaksa menjadi wanita penghibur (gundik) selama masa pendudukan Jepang di Tanah Air. Mereka dibawa ke Buru di mana mereka mengalami kekerasan seksual dan berakhir tinggal di sana dan tidak pernah kembali ke Jawa.

Tulisannya yang terkenal detail dan berbasis riset mendalam ini banyak menyentuh tema interaksi antar budaya; antara Belanda, kerajaan Jawa, orang Jawa, hingga Tionghoa. Ia juga tidak ragu untuk menulis pengalamannya sendiri dalam bentuk semi otobiografi.

Penulis yang karyanya menjadi bacaan wajib pelajaran bahasa Indonesia ini dipertimbangkan untuk Hadiah Nobel Sastra. Ia memenangkan Hadiah Budaya Asia Fukuoka XI 2000 dan Norwegian Authors Union Awards 2004 untuk sumbangsihnya pada sastra dunia.

Pram dan sang istri, Maemunah Thamrin. (Dok, Pribadi Pram).


Tepat pada 1999, setahun setelah ia bebas dari tahanan negara, ia memperoleh gelar Doctor of Humane Letters dari Michigan University, Amerika Serikat.

Bumi Manusia dipuji sebagai karya sastra agung internasional dan telah diterjemahkan ke dalam 20 bahasa. Setelah Orde Baru runtuh, Pram baru secara resmi dibebaskan dan diizinkan bepergian dengan leluasa. Buku-bukunya sendiri baru diterbitkan secara bebas dan tersedia di toko buku di Jakarta mengikuti kebebasan dirinya.

Selain itu, ada beberapa karyanya yang diangkat ke layar lebar seperti Rindu Damai (1955), Peristiwa Surabaja Gubeng (1956), Biola (1957), dan yang terbaru adalah Bumi Manusia (2019) yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo dan diperankan oleh Iqbal Ramadhan.

Pameran khusus tentang sampul buku karya Pram sekaligus hadiah ulang tahunnya ke-81 pernah diadakan di Taman Ismail Marzuki di tahun 2006. Pameran bertajuk "Pram, Buku, dan Angkatan Muda" menghadirkan sekitar 200 sampul-sampul bukunya yang sudah dialih bahasa dan diterbitkan di mancanegara.

Ada pula pameran "Namaku Pram: Catatan dan Arsip" yang diselenggarakan di Galeri Indonesia Kaya pada tahun 2018 lalu. Pameran arsip dan catatannya ini mengisahkan tentang bagaimana seorang Pram memproses karyanya mulai dari mengumpulkan cerita, mencari data, dan menjilid potongan berita untuk dirangkai dan diceritakan kembali.

Pram menerima PRD Award dari Budiman Sudjatmiko. Partai Rakyat Demokratik (PRD). (Dok, PRD).


Pram menghembuskan napas terakhirnya pada 30 April 2006 karena diabetes, sesak napas, dan jantung yang melemah di usia ke-81 tahun. Jenazahnya dikebumikan di TPU Karet Bivak, Jakarta.

Pramoedya Ananta Toer, bukan hanya seorang sastrawan atau penulis yang terkenal dengan karya-karyanya yang sangat berbobot. Tulisan-tulisannya banyak mengubah cara pandang orang terhadap kehidupan ini. Ada satu kutipan Pram dalam Bumi Manusia yang mungkin menarik untuk diingat, "Cerita tentang kesenangan selalu tidak menarik. Itu bukan cerita tentang manusia dan kehidupannya, tapi tentang surga, dan jelas tidak terjadi di atas bumi kita ini".

Selamat ulang tahun Pram. Kita sudah melawan, dengan sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya. -Nyai Ontosoro.

Komentar

Postingan Populer