KASUS TEROR; DP sebaiknya belajar dari BTP

Basuki Tjahaja Purnama (BTP) dan Danny Pomanto (DP), pada suatu acara, 2016. Foto : (Sumber; Fanpage Walikota Makassar, Danny Pomanto).



Peristiwa teror bom Gereja Katedral Makassar, Minggu 28 Maret 2021, meninggalkan pertanyaan besar bagi kita semua. Bisakah teror bom dicegah agar tidak terjadi lagi? Indikasi akan terjadinya bom di Makassar sebenarnya telah "terbaca" oleh aparat keamanan dengan ditangkapnya jaringan sel terorisme bulan Februari silam. Tetapi teror adalah sesuatu yang tidak bisa diduga kapan dan dimana persisnya akan terjadi, hanya gejalanya yang mampu dideteksi. Jadi bila ada yang mengatakan aparat keamanan dan intelejen "kecolongan" pada peristiwa teror bom Gereja Katedral, Makassar, selain melontarkan komentar yang tidak simpatik, mereka tidak memahami konteks gerilya terorisme secara kekinian.

Tidak satu pun Negera di dunia ini yang terbebas dari ancaman teror. Potensi besar terjadinya teror bahkan dilaporkan terpetakan pada lebih 30 negara di dunia. Dari peta potensi terjadinya teror yang dikeluarkan Kementerian Luar Negeri Inggris, ada empat kategori potensi ancaman yaitu; high, general, underlying, dan low. Indonesia ditempatkan sejajar dengan Rusia, Myanmar, Kenya, Filipina, Kolombia, Turki, Thailand, Australia, dan Belgia sebagai negara dalam daftar merah (high) potensi teror. Begitu juga sebagian negara Timur Tengah seperti Irak, Arab Saudi, Yaman, Suriah, Lebanon, Israel, dan Afganistan. Sementara potensi ancaman teror rendah diantaranya ialah Islandia, Bolivia, Ekuador, Polandia, Republik Cheska, Swiss, Hungaria, Vietnam, dan Jepang.

Gereja Katedral Makassar. Foto : (Sumber; Google).


Apakah mungkin ancaman teror dapat di tangkal? Pertanyaan lebih spesifik lagi, bisakah kota-kota dirancang sebagai kota pintar bebas terorisme "terrorism-free smart city"? Gubernur Jakarta periode lalu, Basuki Tjahaja Purnama (BTP) menggagas untuk menekan ruang gerak pelaku teror salah satunya adalah dengan menghilangkan (menggusur) permukiman kumuh yang padat penduduk. Gagasan ini didasarkan pada kenyataan bahwa para pelaku teror kerap kali tinggal bersama di kontrakkan atau kos-kosan. Olehnya, BTP mendorong warganya pindah ke rusun (rumah susun) agar bisa terdata.

Apa yang telah digagas BTP menggusur permukiman kumuh dan mendistribusikan warganya untuk tinggal di rusun sebagai gagasan tentang narasi perancangan kota yang mempertimbangkan aspek kriminal dan teror dalam membangun Jakarta. Konsep perancangan kota yang akan memisahkan secara jelas antara ruang publik dan privat agar tindak kriminal serta potensi teror bisa dicegah sebab para penghuni yang telah terdata dengan baik. Banyak ruang-ruang yang diakses warga tidak diketahui pemerintah baik jumlah maupun peruntukannya. Di kota Makassar dan beberapa kota lainnya, upaya "menghilangkan" kawasan kumuh sebenarnya sudah dimulai. Namun, BTP memprakarsai sesuatu yang sedikit berbeda; selain memberikan rumah layak bagi warga, menghilangkan kawasan kumuh juga bertujuan untuk menekan ruang gerilya kelompok teror.

Rumah Susun (Rusun) KS Tubun, Jakarta Barat. Salah satu Rusun di zaman BTP. Foto : (Sumber; Google).


Arus Balik
Jauh sebelum BTP, kriminolog C Ray Jeffery pada tahun 1971 telah merumuskan alternatif perancangan kota untuk mencegah tindak kriminal yang dikenal dengan konsep CPTED (crime prevention through enviromental design). Prinsip-prinsip Jeffery dalam CPTED ini kemudian diadopsi oleh arsitek Oscar Newman dalam bukunya Defensible Space; Crime Prevention Through Urban Design yang lebih menjelaskan tentang bagaimana lingkungan didesain untuk mencegah kriminalitas. Walaupun tidak ditujukan dalam mencegah terorisme, sebagai upaya mencegah potensi tindak kriminal, prinsip-prinsip desain dalam CPTED hingga saat ini masih dianut oleh banyak perancang kota.

Kawasan kumuh di Batua Manggala, Makassar. Foto : (Sumber; Google).


Namun, apa yang digagas C Ray Jeffery dan Oscar Newman tampaknya tidak (belum) bisa diaplikasikan pada kota-kota di Indonesia. Persoalannya, banyak kawasan di kota-kota tumbuh dan berkembang seperti tidak terkendali. Struktur ruang kota seperti tidak direncanakan dan dirancang dari awal; membentuk secara alamiah dan sering kali melanggar rencana tata ruang. Kota-kota bahkan (mungkin) tidak memiliki panduan perencanaan dan kontrol perancangan (guide planning and design control). RTBL (Rencana Tata Bangunan Lingkungan) yang dijadikan garis panduan rancang bangun suatu lingkungan-kawasan untuk mengendalikan pemanfaatan ruang, penataan bangunan, dan lingkungan sering saja tidak dibuat atau dipatuhi. Akibatnya, banyak kawasan di dalam kota tumbuh menjadi kawasan permukiman kumuh yang tidak lagi bisa dibedakan perihal data dan pemberdayaannya.

Perlukah kawasan-kawasan kumuh di perkotaan dihilangkan atau digusur untuk meredam pelaku teror? Jika menyimak fenomena bahwa pelaku teror di Indonesia yang umumnya bergerilya dan "bermukim" bersama warga dalam ruang padat penduduk yang tak teratur, besar kemungkinan siasat dan niat mereka dapat ditekan apabila dilakukan perancangan ulang terhadap kawasan dan permukiman tidak teratur tersebut. Perancangan ulang suatu kota dengan menghilangkan ruang-ruang kumuh hanyalah salah satu upaya (solusi desain) untuk mempersempit gegap langkah pelaku teror, bukan memberi solusi dari akar persoalan.

Salah satu program Danny Pomanto, Lorong Garden dan Lorong Sehat (LongSet). Foto : (Sumber; Instagram @dpramdhanpomanto).


Untuk menghilangkan kawasan kumuh tentu perlu persiapan matang. Banyak aspek yang harus dipertimbangkan di dalam perancangannya, termasuk memindahkan warga dari permukiman kumuh ke rumah susun. Pada tahap awal barangkali ada baiknya pemerintah kota, juga kabupaten karena memiliki ruang perkotaan melakukan pendataan jumlah dan peruntukan ruang yang dimiliki setiap warganya. Di samping itu, pemerintah harus menyusun RTBL suatu kawasan/lingkungan secara benar, akurat dan tepat, meninjau ulang atau mematuhi RTBL yang telah disusun dengan memasukkan prinsip perencanaan pengendalian tindak kriminal dan gerak pelaku teror.


Komentar

Postingan Populer