ANATOMI POLITIK "milenial" Hamzah Sidik
Hamzah Sidik pada suatu momen. Foto : (Istimewa).
Tak dapat disangkal bahwa perubahan memang niscaya adanya. Ragam bidang kehidupan berubah cepat seiring dengan munculnya era yang disebut John Keane dalam tulisannya The Humbling of the Intellctual (1998) sebagai era keberlimpahan komunikasi. Revolusi komunikasi membuka keran yang kian nyata, salah satunya kemunculan era disrupsi di hampir berbagai bidang. Tak hanya di dunia bisnis, tetapi juga bidang politik dan pemerintahan. Meminjam istilah Thomas Friedman, seorang kolumnis, penulis New York Times, dan pemenang penghargaan Pulitzer; “kita memasuki apa yang disebutnya sebagai Age of Acceleration. Di era ini kecepatan belajar manusia tidak akan mampu mengikuti kecepatan perkembangan teknologi”.
Pada tahun 2020 generasi milenial (yang lahir 1980-2000) berada pada rentang usia 20 tahun hinggga 40 tahun. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Indonesia usia 20 tahun hingga 40 tahun pada 2020 diduga berjumlah 83 juta jiwa atau 34% dari total penduduk Indonesia yang mencapai 271 juta jiwa. Sedangkan data Kesbangpol Prov. Gorontalo, suara pemilih generasi milenial mencapai 51% dari total Daftar Pemilih Tetap (Pemilu 2019) dengan jumlah 812.201 orang.
Posisi besarnya penduduk milenial ini sebagai fenomena yang harus dibaca sebagai bandul perubahan wajah politik dan birokrasi. Namun kelompok milenial masih menjadi pasar politik, milenial hanya menjadi kelompok yang dijadikan hasrat untuk mendulang suara demi mengukuhkan singgasana kekuasaan. Tak jarang perilaku milenial yang terbawa arus kelompok sorak yang melakukan pujian dan cacian tidak berdasar terhadap tokoh atau peristiwa politik tertentu. Padahal milenial harus bisa membawa alternatif "ruang ventilasi" ke dunia politik. Gagasan dan pemikiran baru dari milenial sangat diharapkan untuk menghadapi lanskap politik yang sudah sangat berubah. Sebab di era industri 4.0 ini, politik sudah semestinya tidak terjebak pada cara-cara lama. Milenial bisa memberikan perubahan yang signifikan, mampu mengubah pola pikir yang telah usang. Hal ini didukung dengan karakter milenial yang langsung melakukan praktik, lalu evaluasi, baru kemudian menggarap agenda setting. Tentu ini berbeda dengan perilaku politik generasi sebelumnya yang terlalu lama merencanakan agenda setting.
Banyak yang meragukan kapasitas, profesionalitas, dan integritas milenial dalam politik. Keraguan tersebut, bukan hanya datang dari generasi tua, tetapi juga datang dari kalangan milenial itu sendiri. Mampukah kaum milenial mendapat tempat dan berkontribusi serta berprestasi di bidang politik? Atau sebaliknya, hanya menjadi objek sekaligus korban dari politik itu sendiri. Kaum milenial di degung-dengungkan sebagai juru selamat di era kekininian. Mereka tentu harus mengilhami epos gerakan muda Indonesia pada 1908, 1945, 1966, dan 1998. Pemuda-pemudi di zaman itu lahir dari kawah candradimuka yang panas, berlapis-lapis keringat juang. Dengan istilah yang mereka kenang; tangkap, buang, dan bui.
Untuk mengawal juga mengakumulasi semangat kekinian sebagai agen penyelamat di era kini, sudah sepantasnya kaum milenial bernafsu dalam ruang-ruang dikusi, debat dan konsolidasi. Mencium bau keringat rakyat, memulai dan bekerja dengan apa yang dimiliki rakyat, menemukan riset terhadap kondisi kebuntuan yang di alami rakyat dengan segudang agenda-agenda pelibatan diri lainnya.
Agenda pelibatan diri yang bisa dilakukan adalah kanal diskusi. Tentunya mempromosikan diskusi sebagai cara menjernihkan kekumuhan narasi. Karena tujuan utama dalam diskusi bukan mengubah posisi lawan diskusi, tapi mengubah opini audiens diskusi (yang beda). Kecuali jika kita mereduksi diskusi cuman untuk mendapatkan selebrasi tepukan tangan. Diskusi juga sebagai cara untuk membersihkan politik dari kekotoran pidato monolog, hujatan dan sinisme yang dekil.
Saya tertarik dengan diskusi yang menggaungkan tema “Politik Dipusaran Milenial” di el’Z Coffee Shop. Sebuah gerakan yang dipelopori oleh Jejak Kontoversi, Sabtu malam kemarin (19/12/2020). Jejak kontroversi menghadirkan pemantik yang menurut saya juga sarat akan kontradiksi, Abang Hamzah Sidik. Sudah sepatutnya, sebagai pemantik diksusi ia layak di nobatkan mewakili pusaran “Milenial” itu; bagi dirinya, ide-nya, gagasannya, narasinya dan action-nya dalam mereduksi perjuangan pada medan politik (kebijakan, regulasi, dan keberpihakan).
Hamzah Sidik adalah lelaki yang lahir pada November tahun 1979, ia adalah legenda jalanan di Bandung yang muncul di era reformasi telah lahir. Bergelut dengan aktivitas kampus yang masih berkecamuk (Unisba, 2004). Almamater “hijau hitam” adalah rumahnya. Isu hukum, sosial dan politik adalah dapurnya. Tubuhnya kokoh dan gerak-geriknya cekatan. Bibir yang kecil dan ekspresif, serta tatapan mata yang tajam, yang seakan menerawang ketika ia sedang dalam keadaan tenang, walaupun memancarkan api ketika ia dipenuhi gagasan besar. Penampilannya kekinian “stylish” selalu mengikuti trend zaman. Senyumnya manis mempesona membuat orang-orang disekitarnya tenang. Senyum inilah yang mungkin saja menjadi “amunisi” di saat zaman kuliah dulu, mungkin ada beberapa mahasiswi ikut menikmati gemerlap senyum dan membuat baper tak tidur nyenyak. Gaya dan tampilan rambutnya selalu berubah-ubah, lekat dengan warna putih. Jika kita pernah melihat keuletan sikap dan penampilan dari “Duta” vokalis “Sheila on 7”, kita akan menemukan kemiripan dari ruang pandang sederhana. Jika kita berjumpa pertama kali, saya yakin kita tidak akan bisa menyimpulkan bahwa orang yang berada di hadapanmu itu memiliki kualitas langka sehubungan dengan isi kepala dan hatinya.
Kontradiksi selalu lekat dengannya. status media sosial dan berita tentangnya bikin geli dan menggelisahkan lawan politiknya, mengeraskan narasi tepat pada pihak terkait. Ia bukan tipe kompromis. Tak ada kompromi soal penghidupan rakyat. Inilah mungkin rasa suka dan kecintaannya pada Bung Karno; pikiran, ide dan perjuangannya. Tak jarang sering kita melihat ia mengenakan kaos oblong bergambar sosok putra Sang Fajar itu. Ia selalu siap menantang dengan sikap maskulinisme oleh siapa saja yang ingin berdiskusi, tentang soal diksi kritikannya. Di saat bersamaan ia juga lembut “feminisme”, selalu menjadi yang pertama merasakan luka akibat kata-kata pahitnya sendiri, dan ia lebih menderita daripada mereka yang dilukainya.
"Pendopo" ruang tongkrongan kaum milenial, Desa Moluo, Gorut. Owner Hamzah Sidik. Foto : (Istimewa).
Bicara dan suaranya nyaring. Gagasan dan kritiknya selalu bising, yang dengan gagah melawan arus kuat kepentingan. Berdiri paling ujung saat rakyatnya dilanda bencana sosial dan hukum. Lari dan mengejar pekerja asing (WNA) yang merongrong hasil kekayaan bumi Gorontalo Utara. Ia bergerak dengan gayanya sendiri. Yang kadang menakutkan, menyebalkan, dan membuat gemas lawan politiknya.
Ia kesatria dan pejuang; seperti Don Quixote (tokoh roman karya sastrawan besar Spanyol, Carvantes). Ia sering tidak menyia-nyiakan keberaniannya untuk melawan ruang beku demokrasi. Ia selalu terbakar melawan “ambisius” rekan bahkan lawan politiknya yang tak kunjung terpuaskan, yang membuatnya memandang semua penghormatan luar biasa dalam kehidupan sosial sebagai kesia-siaan, namun penuh hasrat menganggap kebagiaan terbesarnya adalah kehidupan rumah tangga dan keluarga yang riang gembira.
Seorang advokat yang berada di gelanggang politik dalam pengertian tertinggi kata itu. Ia memimpikan ritme politik yang bermartabat, tidak disesaki hasrat politik yang tak substansial. Dan paling penting mengutamakan bahwa politik sebagai bagasi pergerakan manusia memanusiakan manusia, seperti sebuah ajaran dari tokoh penyair kemanusian; Max Havelaar, Eduard Douwes Dekker dengan nama penanya “Multatuli”. Tidak ada ilmu pengetahuan yang asing baginya, ia menebak secara “naluriah” dengan cara bisa melipatgandakan kadar pengetahuannya. Pikirannya agak liar dan berhati-hati dalam menilai masalah, walaupun tampaknya bukan itu kasusnya bagi mereka yang pernah mendengarnya meraih kesimpulan secepat kilat. Gagasannya juga gurih untuk dianggap bisa bertahan lama, tapi ia seringkali membuktikan yang sebaliknya. Semua keagungan dan keluhuran memikatnya, tapi ia juga sama sederhana dan hambel dalam bergaul.
Ia memang bukan politisi kaleng-kaleng yang muncul saat Pemilu saja. Ia adalah politik itu sendiri, bagian dari sejarah panjang pergerakan pemuda pasca reformasi. Saya tahu ia sudah berjuang mati-matian di garis partai demi cita-cita luhur demokrasi, dengan segala keterbatasan tenaga dan materi yang ia sanggupi.
Ia jujur, terutama ketika kejujuran itu berubah menjadi kedermawanan dan akan membiarkan hutang perjuangan beratus-ratus tak terbayar karena ia telah mendermakan beribu-ribu jejak juang. Ia jenaka dan menyenangkan ketika merasa kejenakaannya dipahami. Jika tidak, ia akan pendiam dan menjemukan. Ia ramah terhadap lawan dan kawan politik. Pembela bagi orang yang menderita, peka terhadap cinta dan perkawanan. Selalu menepati janji, mengalah dalam hal-hal kecil. Namun seteguh karang ketika ia merasa patut untuk bersusah payah menunjukan wataknya.
Saya sendiri heran. Dimana rasa takut pada dirinya?
Tidak ada segan-segannya ketika ia menghajar pandangan lawan politiknya akan amburadulnya ketidakpastian demokrasi dan birokrasi; permainan atas upah para pekerja PDAM, PTT-GTT, polemik surat Kemendagri soal Dikducapil, dan yang terakhir hak interpelasi. Bahkan ketika pelantikan DPRD periode awal, ia banjiri interupsi tak pandang bulu. Narasi dan diksi kritiknya seperti peluru, selalu seimbang dengan pandangan solusi yang bernas. Ia tak gentar ketika berhadapan dengan kelompok-kelompok yang mengambil suaka kepentingan politik. Ia sedang menikmati permainan di arena berbahaya tanpa beban.
Harga dirinya yang tinggi menjadikannya orang yang bijak, namun terkadang pendiam dalam hal-hal sunyi; ketika merasa khawatir keterusterangannya salah dipahami sebagai ketidaktahuan. Peka terhadap kesehatan dan kebahagiaan jasmani-rohani. Narasi orasinya membentangkan kejernihan pikiran bagai jatuh di tanah yang subur.
Dan prinsip itulah yang menunjukkan jati dirinya. Siapa ia dan pesan apa yang sedang ia bawa.
Saya rasa ini juga menjadi hipotesa mengapa penyair romansa pada umumnya menjadikan pahlawan mereka sebagai setan dan malaikat. Hitam dan putih mudah digambarkan, tapi jauh lebih sulit untuk menghasilkan variasi diantara kedua ekstrem ini. Ketika kejujuran harus dihargai, dan kedua sisinya tidak berwarna terlalu gelap atau terlau terang. Saya rasa penggambaran yang saya upayakan untuk sosok ini sangatlah luas sifatnya, siklus kehidupannya, dan tingkah laku sosialnya, sehingga menghalangi penilaian karena kekayaan dirinya yang berlimpah. Dan mungkin saya akan mengacu pada penggambaran itu sebagai pelengkap, ketika menunggu peristiwa-peristiwa heroik dari sosok Hamzah Sidik dengan politik “milenial-nya” di hari depannya.
Selamat bekerja di sisa waktu yang ada Abang Hamzah Sidik, sebagai "juru suara" rakyat. Berilah kepercayaan kepada saya dan ribuan kaum milenial diluar sana, bahwa perjuangan di arena politik adalah sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya ladang pengabdian bagi negeri.
Komentar
Posting Komentar